KCB:Jangan Bilang Cinta
Judul :
Jangan Bilang Cinta
Genre :
Teenlite
Tokoh :
Aku (David), Griza, Grace (Griza dan Graze adalah saudara kembar)
Pada :
22 dan 29 Mei 2013
Jangan Bilang Cinta
Itu Griza kan?
Aku tak mungkin lupa wajahnya, hidungnya
dan matanya. Meski sekarang dia sudah semakin tinggi, berisi dan ber-body
aduhai, melebihi indahnya lekukan gitar Spanyol. Tingginya sekitar 167 senti
mungin, lebih tinggi aku satu senti. Untuk ukuran wanita, menurutku itu sudah
cukup ideal.
Ya itu pasti Griza, Griza Antika. Teman SMP
dulu. Yang aku sukai, sampai sekarang. Meski aku tidak pernah berkenalan.
Sebatas tahu siapa dia, dan cinta ini bisa berkembang di hati, hanya di hati.
***
Saat ia mendekat kurang lebih radius setengah meter, aku memanggilnya, "Griza." Kali ini tidak ada efek slowmotion.
Aku senang bukan kepalang, seperti terbang ke awang-awang. Dia meresponku. Akhirnya, ini pertanda baik.
"Sorry, aku mau nelpon dulu, ya."ucap Girza smbil meninggalkanku.
Griza pun sangat ramah denganku. aku semakin yakin bahwa Griza suka denganku.
Aku gemetar, ya aku akan menyatakan cinta pada griza. Sekarang juga.
Tiba-tiba griza datang menemuiku.
Griza duduk di depanku. Aku mulai melancarkan aksiku.
"Bagaimana, Griz?" tanyaku lagi. "A-a-aku ... jangan bilang cinta padaku ..." kata Griza tergagap.
Aku masih melongo. Bingung dengan apa yang kulihat.
Aku berpapasan dengan gadis, itu saat aku
keluar dari tempat les. Ia tak melirikku sedikit pun. Griza, aku yakin itu
Griza. Aku tak pernah lupa sedikit pun wajahnya, meski badanya telah berubah.
Sama seperti waktu SMP dulu. Padahal apa yang
kurang denganku? Aku terbilang cowok yang ganteng, meski itu kataku dan kedua
orangtuaku sendiri, mungkin kata adeku juga. Mungkin juga tidak.
Aku berpostur tinggi dengan tubuh yang seperti
lidi. Rambutku kuubuat model korea, tapi wajahku tetap jawa. Tak pernah pacaran
sampai sekarang. Karena hanya dia yang mampu nyolong hatiku.
Ah, biarlah. Aku melenggang keluar untuk pulang
menyisakan rasa penasaran yang masih tergantung di dalam hatiku. Untung hatiku
ada tempat gantunganya.
Malam ini aku tak bisa tidur. Griza hadir di
langit-langit kamarku. Ia tersenyum padaku, aku pun membalasnya. Ah dia sudah
sangat berbeda. Dulu dia pendek, hitam dan ceking, persis pentol korek seharga
gopean sekotak.
Seperti biasa dan memang sudah menjadi
kebiasaanku dari dulu. Aku berpuisi.
Oh Griza
Cantik euyyyy
Meski kau tak meliriku
Tapi aku tetap meraihmu
Tetap pesonamu tak pudar dimakan rayap
Malah kini berkembang seperti roti yang
terlalu banyak telur
Meluber hingga membanjiri Jakarta
Jakarta banjir Roti, hatiku banjir cintamu
(sebenarnya tak layak disebut puisi sih, tapi
yasudahlah)
Terkadang aku pusing dengan diriku ini. Mengapa
bisa gila. Padahal disapa pun tidak pernah. Hanya karena aku melihatnya,
menatapnya dengan seksama, diam dengan rasa yang bergemuruh, memerdekakan
khayalanku, tapi apakah sama dengannya? Apakah demikian kenyataan yang terjadi?
Boleh jadi tidak. Tapi biarlah, suatu saat cinta yang akan bicara.
Griza makin cantik sekarang. Makan apa dia ya?
Oh, mengapa pesonanya tak pernah bisa pergi dari ingatanku. Meski sudah banyak
kutemui gadis yang lebih cantik darinya. Oh Griza. Sampai teman-teman SMA-ku
kini mengira aku maho. Ah, padahal kan aku masih suka cewek, tapi hanya Griza.
Apalagi saat kudengar suaramu sedang berbicara
dengan temanmu, nyaring mendamaikanku. Apa mungkin kau makan Kroto. Kata
Bapakku kroto bisa membuat kicauan burung menjadi nyaring. Ah abaikan. Tak
penting apa makanmu. yang penting dirimu, hatimu dan aku.
***
Ciiittt...
Aku tersadar dari lamunan. Sebuah mobil sedan
merah hampir saja menabrakku.
“Gila kau, nggak bisa nyetir apa?” hardikku.
Brumm..
Mobil itu tetap melesat dengan cepat.
“Huft, padahal aku sudah berdiri di pinggir
gini.” Aku melihat ke samping. “What, ternyata aku sudah di tengah jalan.
Untung saja aku nggak mati. Bodohnya diriku.”
Aku langsung melajutkan jalan. Untungnya jalan
kampung ini tak ramai.
"Aku harus mengungkapkan rasa ini ke
dia, apapun hasilnya, secepatnya,” tekadku dalam hati.
Griza, Griza. Mengapa sejak dulu nama itu tak
mau hengkang dari memori otakku? Apa software-ku ada yang salah? Atau keyboard
sift+delku coplok? Hm..
Aku tak mau menyia-nyiakan kesempatan. aku
harus mulai berkenalan dan pedekate dengan dia, harus, aku tak bisa
menunda-nunda lagi.
Setidaknya aku sudah punya modal awal, teman
lama, teman satu sekolah saat SMP. Background sekolah yang sama kurasa cukup
untuk menjadi bekal obrolan. Oke, capcus!
Besok aku harus bisa menyapanya, minta nomornya
dan pedekate, pastinya. Harus-harus.
Eits, jangan lupa minta PIN BB juga, biar bisa
BBM-an. Langsung masuk ke studio band untuk latihan dengan teman-teman. Sebelum
sorenya aku harus les, dan melihat Griza.
***
Sore hari, seperti biasanya, pergi les, dan aku
akan bertemu Griza, lebih tepatnya saat kelasku usai, griza baru nongol.
Saat berada dalam kelas, rasanya hatiku tak
bisa diam. Dag-dig-dug tak menentu. Seperti alunan rebana yang pemainnya asal
gebuk, tanpa ada harmonisasi. Aku tak konsen menatap ke papan tulis. Sesekali,
banyak kali tepatnya aku selalu menoleh ke jendela, ke jam tangan dan guru yang
memberikan materi.
Papan tulis di depan seperti tergambar wajah
Griza. Lagi-lagi Griza. Dia seperti ada di mana-mana. Untung tidak membuntutiku
sampai toilet, bisa malu aku.
Banyak orang-orang yang berlalu lalang tercetak
di lensa mataku. Kuyakin mereka sekelas dengan Griza. Sesosok yang sedari malam
aku rindukan, yang aku genapkan namanya dalam hati, hadir dengan kemeja kotak
biru hitam, serasi dengan rok selutut yang membuatnya tampak lebih jenjang.
semilir angin membelai rambutnya, seolah melambai-lambai naluriku.
Ah, benarkah ini cinta? Ataukah aku hanya kagum
pada kecantikannya? Tapi mengapa dari dulu sampai sekarang rasa ini bersemayam.
Bahkan satu pun tidak ada yang berhasil menggantikan kedudukanya.
Bruak!
“Gila... dia makin cantik aja,” kataku tak
sengaja.
“Hahaha.” Tawa menggema di dalam kelas.
Semua mata langsung tertuju padaku, seperti
Miss Indonesia setelah menjawab pertanyaan itu-itu saja. Aku pun meringkuk
malu.
Ternyata sebuah penghapus kayu berhasil
mengenai ujung kepalaku. Aku melihat guru lesku tengah berkacak pinggang di
depan. Aku takut plus malu.
“Sedang apa kau itu? apa yang kau katakan
tadi?”
"Tidak-tidak, Bu.” Aku mencoba berkilah.
“Ma'af, Bu. Boleh iji ke toilet?"
"Lho kamu ini gimana? Ngelamun apa sih?
Kok tiba-tiba pengen ke toilet."
“Hahaha.” Lagi-lagi tawa menggema.
"Tapi kebelet Bu. Daripada bocor di
sini."
"Yaudah. Cepat ya. Gak pake pampesr sih.
Besok pakai pampres ya, kali aa nglamun sampe bocor."
"Terima kasih, Bu."
Aku langusng keluar kelas, berharap Griza belum
masuk ke kelasnya.
Syukur, Griza masih duduk dengan teman-temanya
di bangku depan kelas. Griza berjalan menemui mereka.
"Griza, ya?" sapaku ketika aku
menghampirinya.
"Iya. Siapa ya?" Ia balik nanya.
Kedua alisnya beradu seperti siap mau tempur.
Aduh, sumpah deh, beneran membuat jantungku
seolah benrhenti beberapa detik. Lah, mati suri dong. Anngap aja iya.
"Anu-a-a-anu."
“Anumu kenapa?”
Aku tercekat. Wajahku keheranan. Kenapa malah
dikira anuku ada apa-apa.
“Bukan... tapi anu, itu, hem ....”
"Eh Griz udah ada Bu Sinta sedang menuju
ke sini, masuk yuk," kata Delia yang baru datang.
"Permisi dulu ya, Mas."
Aku dilewati begitu saja, dan aku hanya bisa
mematung. Ah, rencanaku GATOT, alias gagal total. Aku tak berkutik dibuatnya.
***
Sore ini aku
akan mencobanya lagi. Akan kutunggu dia sampai dia ada banyak waktu untukku. "Aku
tak boleh nyerah,” kataku menyemangati diri.
Aku sengaja ke sini,
meskipun tidak ada jadwa les. Aku menunggu kedatangan Griza di depan kelasnya.
Duduk termanggu demi dirinya.
Lima belas menit telah berlalu,
rasanya bagai sewindu. Sumpah, sebel banget rasanya harus nunggu lama seperti
ini. Kucoba bertahan sebentar lagi, aku yakin Griza akan muncul di sini, di
detik-detik seperti ini...
Sebenarnya aku sudah hampir menyerah
ketika Griza tak mengenaliku kemarin. Tapi bukan David namanya kalau gampang
menyerah. Kali ini akan kubuat Griza terkesan dan tak akan bisa melupakanku.
Aku tersenyum sendiri membayangkan rencanaku..
Benar sekali. Aku menangkap sosok
itu, cewek dengan kemeja kotak-kotak lengan panjang, rok jeans selutut.
Rambutnya berkibar diterpa angin, persis seperti iklan shampo.
Untung saja tidak ada kutu yang ikut
berterbangan, ataupun ketombe yang jatuh. Pasti akan mirip iklan shampo tidak
laku.
Ia berjalan ke arahku. Aku langsung
berdiri. Aku tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini.
Mataku mulai nanar, serasa ribuan
ton bergelayut di kelopak mataku ketika kulihat tubuh Griza gemulai mendekat.
Aku ternganga, serasa tak percaya dengan penglihatanku. Kukucek kedua mataku,
meyakinkan kalau ini bukan mimpi....
Ia menatap ke arahku. "Mas yang
kemarin kan?"
"Wah dia masih ingat aku,
ternyata," batinku. Aku tersenyum senang.
"Ada yang ketinggalan
Mas?" tanyanya lagi.
Gadis semampai itu terpaku sejanak,
menatap wajahku heran. Ah, aku baru sadar, mulutku membuka terlalu lebar.
Untung saja, tak ada lalat yang mencoba menyambar.
"Kamu Griza kan?"
Griza menyipitkan matanya kearahku,
memastikan kalau memang dia yang dipanggil oleh orang yang berwajah absurd
sepertiku.
"Iya, Mas siapa kalau boleh
tahu?" Griza seperti tak pernah melihat wajah seabsurd aku.
"Aku David, teman sekalas SMP
dulu," ucapku riang, "aku yang duduk sebelan Anton, ingat?"
"Anton siapa ya?"
Deg, aku baru ingat aku tak pernah
sekelas dengannya. Sial!!
Celaka! ingin rasanya kutampar
mulutku saat ini juga. Bagaimana mungkin aku ngawur, mungkin yang dia pikir
itu, Anton tukang mie ayam langgananku di kantin belakang sekolah. Wajahku
terasa panas menahan malu. lidahku serasa kelu. "Gusti, tolong aku.."
rintihku tak berdaya
"Mas?" Griza menyadarkanku.
Aku harus meneruskan ini, pedekate.
"Eh eh iya, dulu aku kelas 9F
kamu 9C, jadi nggak sekelas deh.”
"Oh, begitu ya? terus ada perlu
apa?" katanya tidak peduli.
"Cuma mau kenalan gitu, kan di
les ini kita sama-sama dari SMP yang sama."
"Oh gitu, lha Mas kan udah
kenal saya gitu kok."
Aku diam. Jawab apa lagi ini ya? batinku.
Aha! aku ada ide. Bagaimana kalau
aku tawarin dia untuk diantar pulang? Hmmm, not
bad idea.
“Iya kita udah kenal, tapi aku
pengen lebih kenal lebih jauh. Boleh kuantar pulang kan?" kuberanikan diri
menatap matanya.
Tunggu dulu, aku baru ingat, kalau
ini dia kan baru masuk. Sial!!
"Jadi mau nunggu aku sampai
pulang nanti?" Aku berpikir, demi cinta. "Iya, oke."
Griza terlihat berpikir. Keningnya
berkerut. "Tapi aku baru mengenalmu."
"Itu nggak masuk akal, Griza.
Kita satu sekolah, bagaimana kamu bisa lupa?" aku mencoba meyakinkan dia.
"Aku punya buktinya ko. Aku bukan orang jahat."
"lha kan
emng kamu nggak terkenal. Coba kamu ikut ekskul, OSIS atau apalah. Harus ya
diriku mengenalmu?"
"Griza,
dulu aku photografer majalah sekolah. Aku pernah membuat fotomu dan dimuat di
rubrik 'idola'. ingat?"
“Hem... enggak,
tapi, okelah untuk tawaran nganter pulangnya.”
Aku tersenyum
senang. Aku akan melakukan pendekatan nanti. Tuhan tolong aku.
***
Singkat cerita,
dari kejadian mengantarkan pulang Griza sore lalu, aku jadi agak akrab
denganya. Ternyata orangnya asyik juga. Apalagi setelah kenal. Seminggu aku
melakukan pendekatan. Mengajak dia keluar makan, nonton atau ke taman. Dia
terlihat menikmati hari bersamaku. Aku semakin yakin bahwa Tuhan melancarkan
jalanku. Dan Aku akan segera mengatakan perasaanku padanya. Harus!
***
Aku mencoba
mengatur detak jantung yang tak pasti ini. Mulutku mengunyah nasi goreng udang,
tapi mulutku masih sedikit melantunkan doa untuk bisa menenangkan debarannya. Ternyata Griza tak malu diajaknya makan di
pinggiran jalan. Batinku.
Ingin banget aku
menyeka keringat di pipinya. Namun urung kulakukan. Aku takut, dia akan
menuduhku cowok yang kurang ajar, dan kita hanyabisa berdiam. aku membeku.
peluhku menetes begitu deras. Bukan karena kepanasan. Tapi karena Griza. Aku
tak bisa mengotrol diriku.
Sekilas film
angan David berputar, di deburan ombak mereka berkejaran, mereka seperti dua
sejoli yang hanya dilahirkan dan hidup berdua di muka bumi. Griza terjatuh,
keringat masih muncul di pori-pori mulusnya. David mengulurkan tangan untuk
membantu Griza bangkit. David menyentuh pipi Griza.
"Hhuk
uhuk." sendok yang sedari tadi david pegang, hampir saja ia telan.
Akhirnya, aku
melanjutkan misi besar ini.Dengan modal sisa-sisa keberanian yang kukumpulkan,
aku mulai melontarkan satu persatu pertanyaan kepada Griza.
Aku berusaha menetralisir perasaanku
yang semakin tak karuan. Jantungku semakin cepat berpacu, rasanya dag dig
dug...derrr, dorrr.
Rasanya, ingin sekali kumenyentuh
tangan Girza, tapi aku tak mampu menggerakkan tanganku, kaku.
Ya, tiba-tiba saja tubuhku membeku.
Kali ini, aku mengutuki kebodohanku. Padahal sedari di rumah aku sudah belajar
mati-matian menyiapkan ini semua. Belajar untuk mengungkapkan perasaanku pada
Girza. Dan kali ini aku tidak boleh gagal. Aku harus bisa melawan rasa kakuku.
Hingga akhirnya, perlahan namun
pasti, aku mulai bisa menggerakkan tanganku. Dan saat jemariku mulai menyentuh
jemarinya, Girza tersentak. Ada rasa kikuk tergambar di wajahnya.
Aku menelan ludah getir. Aku sudah
tidak sabar untuk mengungkapkan perasaan ini, takut keberanianku kembali
menyurut.
Dan setelah lima menit, Griza pun
kembali ke tempat duduknya. Dan aku pun segera mempersiapkan diri,menarik nafas
panjang.
Mulus, rencanaku berjalan mulus.
seperti jalan yang baru di aspal tanpa geronjalan sedikitpun.
"Griz, bolehkah aku mengatakan
sesuatu kepadamu," tanyaku hati-hati.
Griza yang diam-diam mengamati
wajahku tersenyum menatap kedua mataku.
"Apa? eh tunggu, aku mau
ngangkat telepon dulu." Griza beranjak dan menjauh dariku.
Aku menelan ludah. Peluh masih
mengalir dari keningku. Aku kegerahan.
"A-a-aku cinta kamu."
Griza tampak kaget bukan main. Ia
terdiam. Raut wajahnya berubah bingung.
Deg. Apa ini, kenapa ini? "Kamu
menolakku?" tanyaku pelan. Berusah mengatur jantungku yang berdegup tak
menentu.
"Bukan, tapi ...."
"Grace?" ada cewek datang
dari arah depan, mirip sekali dengan cewek yg di hadapanku. Aku kebingungan
melihat dua cewek yg sama di hadapanku.
"Emmm... Maaf, David, sepertinya kamu salah bilang
cinta,” Griza yang duduk di depanku bicara ngelantur, "jangan bilang cinta
padaku, bilanglah pada Griza." Griza yang di depanku menoleh ke arah cewek
yang mirip Griza dari belakang.
"Aku Grace, saudara kembarnya
Griza, tadi griza menelepon menyuruh aku ke sini, suruh menemanimu dulu."
Cewek di belakang Grace tersenyum. Pipiku
memerah. Aku jadi salah tingkah. Aku
langsung berdiri menyongsong Griza yang asli.
Kami beradu.Ada getaran aneh
menjalar di sekujur tubuhku,Dan rasa cinta pun mengalir ke peredaran darah dan
masuk ke jantung hatiku.
"Aku jatuh cinta padamu,Griz.Aku
ingin kamu menjadi putri di hatiku." Ungkapku selembut mungkin,aku harap
"Bagaimana,
Griz?" tanyaku lagi.
Ia tersenyum.
"Katakan, Griz." Aku jadi
gugup. Darahku mengalir cepat sekali.
"Iya, aku mau." Griza
menunduk malu. Mukanya memerah seperti tomat.
Aku tak pernah melupakan kejadian
itu. Aku sangat bahagia. Aku seperti terbang bersama burung-burung di langit. Akhirnya
aku mendapatkan Griza. Aku langsung memeluk Griza.
Post a Comment