Header Ads

Pantaskah Dipertahankan? | KCB | Rabu, 28 Agustus 2013

Pantaskah Dipertahankan?

Oleh: KOBIMO
Editor: Reyhan M Abdurrohman

Sudah dari pagi aku menunggu kabar dari Yudha, cowok yang setahun terakhir ini menjadi kekasihku. Malam sudah mulai larut dan aku masih menunggu tapi belum juga ada kabar darinya.
Kadang sering terbersit pertanyaan, kenapa aku bisa bertahan dengan cowok cuek dan pasif komunikasi seperti Yudha? Seharian ini aku memikirkannya, tapi apa dia di sana juga memikirkanku? Entahlah.
Yudha tidak tampan, tapi sedikit di atas rata-rata. Rambutnya ikal dan sedikit gondrong. Tinggi badannya seimbang dengan berat badan serta kulitnya sedikit hitam. Dia cuek dan seolah tak peduli padahal aku tahu dia begitu perhatian.
Ini hari kedua tanpa kabar darinya. Ke mana dia? Apa dia lupa kalau ada aku, kekasih yang peduli padanya? Kenapa aku jadi risau begini, ini bukan hal baru lagi bagiku. Aku pernah tak dikabarinya selama seminggu, dan dia muncul dengan kondisi baik-baik saja.
Aku harap besok pagi aku terbangun karena bunyi nada dering khusus dari handphoneku yang sengaja kusetting untuk nomor handphonenya, sehingga aku bisa menyakinkan diriku bahwa dia layak untuk aku pertahankan.
Setiap aku curhat, dia selalu diam saja. Hmm, terkadang aku berpikir kenapa ya aku bisa jatuh cinta sama patung hidup? Tapi, secara tiba-tiba, terkadang Yudha sering memberi kejutan tanpa kuminta. Ah, semua ini bikin aku pusing.
Harapanku sirna. Pasalnya seharian ini masih tak ada kabar darinya. Sungguh aku sudah tidak tahan dengan sikap cueknya. Aku juga ingin diperhatikan. Apalagi saat melihat teman-temanku yang pacarnya sangat perhatian. Aku iri.
"Hey, lo pasti lagi mikiran Yudha, iya kan?"
Aku mengangkat wajah, dan langsung menemukan Alisa berkacak pinggang di hadapanku. Ia menyeringai, seakan tak menyukai mimik wajahku.
Aku mendesah. "Cewek mana yang tidak ingin diperhatikan coba? Tapi setiap gue berniat ingin putus, saat itu juga gue malah semakin nggak mau kehilangan dia."
“Nggak coba menghubunginya?”
 Aku mencoba untuk sedikit mengalah. Kuturuti usulan Alisa, meski rasanya sangat berat. Kuraih handphone didalam tas lengan kesayanganku, tas yang kugunakan saat pertama kali bertemu Yudha. Langsung kutekan angka satu yang sudah ku setting sebagai speed dial nomor handphone Yudha.
Seharusnya ini sudah menjelaskan, betapa Yudha selalu menjadi nomor satu diseluruh kehidupanku. Kutunggu beberapa detik, namun tak ada nada sambung apa pun. Tidak aktif? Oh baiklah. Entah sudah berapa kali dia tiba-tiba menghilang seperti ini. Aaaaargh, kesal sekali rasanya. Apa gunanya memiliki kekasih jika ia tak pernah ada disaat aku membutuhkannya.
“Bagaimana?” tanya Alisa memandang wajah kuyuku.
Aku menggeleng.
Alisa terlihat jengah. Dia menyodorkan sebuah kertas berwarna merah berlapis plastik bening. "Undangan dari Mae," katanya, "Lo kapan nyusul? Bukannya hubungan lo sama Yudha udah dua tahun?"
Aku meraih undangan tersebut, memandangnya sebentar, dan menaruhnya di atas meja. Aku kembali terdiam. 
"Mending putusin aja deh. Daripada lo kaya digantung gini? Tenggelam dalam ketidakpastian."
Alisa ada benarnya. Tapi usul itu sama saja aku yang mengingkari janji setia saat kita jadian dulu. Tunggu dulu, bukannya dia yang terlebih dahulu hilang, tanpa kabar?
"Eem... tau nih, Sa, gue juga bingung abis dia cuek-cuek aja sih, seolah ngga ada gue di kehidupan dia. Gadis mana yang ngga mau di ajak serius dan menikah dengan pria pujaannya, begitu juga halnya gue. Apa bisa gue mutusin dia?" jawabku dengan pandangan lurus ke arah kakiku yang terlihat gemetar mengucapkan kata-kata "putus".
Apa bener aku harus putus dengannya, meskipun dia selalu hilang tanpa kabar dan selalu membuatku jengah dengan tingkahnya.
Aku memutuskan untuk memutar kursiku. Berkutat pada file-file yang berserakan di atas meja, membuat pikiranku semakin kacau.
"Jangan sampai dia selingkuh di belakang, lo. Camkan itu!" Nada bicara Alisa agak meninggi.
Aku masih diam menunggu kabar kepastian darinya. Sesunguhnya aku masih menyayangi Yudha, tetapi sikapnya yang membuatku semakin ilfeel.
***
Pagi itu ketika membuka mata, rasanya jantungku berdebar-debar seperti habis lari di kejar anjing tetanggaku yang galak. Kulihat jam weker yang ada di atas meja belajarku, berkali-kali aku mengucek mata berharap aku salah melihat. Tapi ternyata indera penglihatanku masih berfungsi dengan normal.
Jam weker menunjukkan pukul 05.00 WIB. Hatiku semakin gelisah ketika tak segera kudapati handphone yang biasa aku taruh di bawah bantal sebelum aku tidur. Segera saja aku bangkit mencarinya. Sial ternyata handphoneku terjatuh dari ranjang. Segera saja kuambil.
Aku semakin ingin berteriak marah. Handphoneku mati. Segera saja kuhidupkan, kutunggu sampai ada sinyal. Dan kosong, masih tak ada SMS masuk.
Bagaimana jika dia meneleponku? Tapi tidak tersambungkan, lantaran handponeku mati. Sial! Aku mengumpat dalam hati.
Tragedi pagi ini cukup membuat aku tak berdaya. Sepertinya seharian ke depan, aku tak bersemangat seperti kemarin.
Sepertinya aku harus belajar melupakannya. Percuma aku selalu menaruh harapan besar agar kelak dia bisa berubah menjadi sosok cowok romantis yang perduli dan dengan sepenuh hati menyayangiku.
Terus bagaimana aku bisa meminta putus dengannya, jika aku tak bisa menghubunginya, bahkan aku tidak tahu keberadaannya. Ya, aku harus ke rumahnya, sepulang kerja.
***
Aku melangkah ragu menuju teras rumahnya. Kuketuk pintu rumah mewah, dengan arsitektur modern. Dindingnya didominasi cat berwarna abu-abu. Ada yang kusuka dari rumah ini. Yaitu pintu gebyok yang baru saja kuketuk ini. Ukirannya sungguh indah. Kombiasi modern dan klasik yang memukau. Sepertinya pemilik rumah ini penikmat seni.
Ada wanita paruh baya yang keluar membukakan pintu. Aku yakin itu mamanya Yudha. Aku pernah melihat fotonya di dompet Yudha.
"Assalamu'alaikum, Tante," kataku sedikit tersengal.
"Wa'alaikumsalam." Mama Yudha menjawab sambil tersenyum. Senyuman yang serupa yang dimiliki Yudha.
"Maaf ganggu sore-sore gini, Tan. Yudhanya ada?"
“Maaf, Anda siapa, ya?"
Aku lupa, bahwa Yudha belum pernah mengenalkanku pada Mamanya.
"Saya teman kerjanya Yudha, Tante." Aku melambungkan senyum.
Aku terpaksa berbohong. Karena Yudha pernah mengaku padaku bahwa dia belum diperbolehkan pacaran sebelum berumur 25 tahun. Aku sempat ragu waktu itu. Kukira dia bilang seperti itu, karena dia sudah dijodohkan dengan Mamanya, dan aku hanya sebagai mainannya.
Aku mencoba untuk percaya. Tapi akhir-akhir ini kepercayaanku semakin goyah. Dia berubah.
“Silahkan masuk dulu, kita bicara di dalam saja.”
“Baik.”
Aku langsung masuk setelah Mama Yudha masuk terlebih dahulu. Aku dipersilahkan duduk di sofa berwarna abu-abu. Ruang tamu ini cukup besar. Ada lampu kristal yang tergantung di atas meja. Di dinding yang bercat abu-abu tergantung foto keluarga yang berukuran cukup besar. Ayahnya Yudha, Mamanya Yudha, Yuda yang tampak ganteng, dan seorang perempuan.
Deg, aku tersentak. Siapakah perempuan itu? Yudha memang tak pernah cerita tentang keluarganya. Dia begitu tertutup.
 "Kemarin dia ijin ke bromo dengan teman-temannya. Apakah kamu tidak diberitahu?"
Aku mendengus sebal. Jika aku diberitahu, aku tidak akan ke sini mencaritahu. Aku membatin.
"Aah gitu ya, Tante. Eem... ngga diberitahu nih, Tante. Makanya aku nyariin dia ke sini." Kali ini otakku mulai mendidih, rasanya ada yang ingin keluar dari kepalaku dan mengeluarkan suara keras "Baam!", tapi itu tak bisa kulakukan di hadapan Mamanya.
"Kira-kira kapan pulangnya, ya, Tante?" tanyaku lagi.
"Tante kurang tahu, sih."
Bagaimana ini? bahkan ibunya tidak tahu kabarnya, dasar cowok yang terlalu cuek. Aku membatin lagi.
Rasanya aku ingin bertanya soal cewek yang ada di foto itu, tapi kuurungkan karena hari semakin sore.
"Yasudah, makasih ya, Tante atas informasinya."
"Sama-sama."
***
 Kring... kring...
Jam weker di kamarku berbunyi. Dari balik selimut, aku meraih jam weker berwarna biru kesukaanku. Lalu aku bangun. Sudah jam 6.00 pagi. Langsung aku teringat Yudha.
Bergegas kuambil handphone, berharap ada panggilan masuk dari Yudha. Tapi, lagi-lagi aku kecewa. Jangankan panggilan masuk, satu pesan pun tak ada. Aku mendengus kesal.
Hadponeku berbunyi. Aku gelagapan mengambil handponeku. Sial! Bukan pesan atau panggilan. Hanya pemebritahuan bahwa hari ini ulangtahunku. Ha, aku baru ingat, ini adlah hari ulangtahunku. Aku terlalu memikirkan Yudha, yang mungkin dia malah tidak ingat sama sekali.
Hampir tiga hari tak ada kabar dari Yudha. Sore itu sengaja kudatangi kafe tempat Yudha dan teman-temannya berkumpul bersama. Seperti tahun-tahun yang lalu. Aku selalu mentraktir teman-teman makan di cafe ini.
Sudah lebih dari tiga jam aku di sana bersama teman-teman. Namun kabar Yuhda belum ada. Sungguh ulangtahun yang menyedihkan.
Kulirik jam tangan pemberian Yudha di ulangtahun tahun lalu. Aku sendiri tidak tahu alasan Yudha kenapa dia menghadiahiku jam tangan. Tapi kupikir, aku tak perlu tahu. Yang kutahu itu adalah tanda kalau Yudha mencintaiku.
***
Jam 20.00 WIB. Suasana jalanan masih ramai. Saat aku melewati taman kota, aku melihat pemandangan yang menimbulkan rasa iri dan cemburu. Beberapa pasang kekasih tengah berduduk-duduk mesra di bawah kerlip lampu taman. Ditambah lagi malam ini berbintang. Sesekali mereka tertawa bersama. Tak lupa pula sang lelaki terlihat menggenggam tangan perempuan di sampingnya.
Huuuuft. Pemandangan yang benar-benar memanaskan hati. Aku juga ingin seperti mereka. Batinku berontak. Saat itu juga logika negatifku datang. Kamu tak pantas kupertahankan, Yudha.
Lelah. Itu kata yang menggambarkan kondisiku sekarang. Tak perlu menunggu berlama-lama, sesampainya di rumah kubaringkan tubuhku di kasur. Langsung kupejamkan mataku. Aku tak ingin lagi memikirkan Yudha. Tidak lagi. Terserah dia mau di mana sekarang.
Jam 00.00 WIB. Nada pesanku berbunyi. Kubiarka saja. Hingga sampai berkali-kali. Aku sampai ingin membanting handphoneku.
Terpaksa, kubaca pesan singkat itu. Mataku terbelalak. Aku mendapati nama Yudha di situ.

Selamat ulang tahun sayang. Maaf telah membuatku kesal dan kecewa akhir-akhir ini. Ini semua kulakukan agar surpriseku sempurna.

Aku melonjak kegirangan. Aku melanjutkan membaca pesan itu.

Buka jendela kamarmu, tengoklah ke bawah, sekarang ya.

Aku langsung lompat dari tempat tidur. Menyibak selimut tebal, dan berlari membuka jendela.
Mataku terbelalak untuk yang kedua kalinya. Di bawah sudah ada Yudha berdiri di tengah-tengah lilin yang menyala. Kedua tangannya memegang kue tart yang lilin di atasnya menyala juga.
Kamu sangat pantas untuk dipertahankan, Yudha. Aku membatin.
Aku langsung berlari keluar kamar, turun tangga dan keluar. Kuhampiri Yudha yang masih berdiri di tempat semula.
"Kamu jahat, sayang." Aku meninju lengannya. "Kamu manusia paling cuek yang pernah aku kenal. Tapi aku sayang kamu.”
"Tiup lilinnya dong."
Aku pun memejamkan mata, meniup lilin berwarna biru di atas kue yang dipegang Yudha.
"Aku ada lagi hadiah untukmu."
Yudha meraih sesuatu dari saku celana belakangnya. "Edelweis."
Kuraih bunga yang hanya tumbuh di dataran tinggi itu. Bunga keabadian.
Yudha mendaratkan ciuman di keningku, aku teringat perkataan Mama kalau cium kening tanda orang sayang sama kita. Aku memeluk erat tubuh Yudha, aku menangis haru, dia pergi untuk kembali.
“Kau tahu? Aku ingin cinta kita seperti Edelweis, akan abadi, sepanjang waktu, selamanya.”
Aku memeluk tubuh Yudha, erat.
Tak ada hal yang bisa mematahkan raguku, kecuali selalu memercayaimu. Itu modal utama dalam sebuah hubungan.  




No comments

KOBIMO@2012. Powered by Blogger.