Kontroversi Hati | KCB 16 Oktober 2013
"Kapan kalian akan jadian?"
tanya Nisa pada Indri saat istirahat sekolah.
Indri yang sedang membaca novel terkaget.
"Jadian sama siapa?"
Nisa menyikut lengan Indri, "Ah pura-pura kamu. Ya... siapa lagi kalau bukan teman
sebangkumu?"
Indri meletakkan novelnya di bangku, "Mas Bro Eka? Nggak mungkinlah, kita sobatan biasa
saja."
"Masak sih, kok aku ngerasanya
nggak?"
Indri terdiam.
***
Indri masih menunggu angkot yang akan
mengantarkannya pulang. Tapi yang ditunggu tak kunjung datang. Emang sih angkot
yang sejurus dengan jalan ke rumahnya itu jarang, apalagi ini tidak jam pulang
sekolah. Ya, sekolah dipulangkan lebih awal, karena ada rapat dengan yayasan
perihal ulang tahun sekolah.
Tiba-tiba motor Jupiter MX berwarna biru, yang dinaiki seorang
cowok yang sok cool, yang sudah tidak
asing lagi, berhenti
tepat di depan Indri.
Indri mendengus kesal, karena cowok itu
berhenti tiba-tiba mengagetkannya.
"Nggak pulang, Ndri?" tanya
Eka sambil membuka kaca helmnya.
Indri memanyunkan bibirnya. "Apa kamu nggak lihat, aku lagi nunggu angkot, itu berarti mau pulang. Lha ngapain kamu berhenti di
sini, mau mangkal ngojek?”
"Kirain nunggu ada yang ngasih
duit." Eka terkekeh.
"Iya, utang kamu kemarin kan
belum dibayar," Indri berkacak pinggang.
Eka mengertukan keningnya. "Utang yang mana?" tanyanya tak ingat.
"Itu tuh utang kamu bayar toilet
kemaren." Idri terkekeh.
Eka menepuk keningnya. "Ya, ampun, maaf aku lupa. Aku kira gratis. Kan kamu yang kemarin jaga toilet
umumnya!"
Eka terkekeh. Bibir Indri makin manyun.
Sudah seperti bibirnya Kiwil yang terlalu mancung.
“Mau aku antar pulang nggak?" Eka
menawari.
"Boleh." Indri tersenyum
senang. Akhirnya pulang juga,
batinnya.
"Tapi nggak gratis."
Indri yang hendak naik ke motor Eka
berhenti. "Lho kok gitu."
"Tadi kamu bilang aku tukang ojek,
ya bayar dong." Eka terkekeh.
"Ya udah, nggak jadi." Indri mudur selangkah.
"Ngambek? Oke, naik gih. Aku cuma
bercanda."
Indri tersenyum hambar dan segera naik
ke motor Eka.
Brum...
Eka membawa Indri ke taman kota terlebih
dahulu sebelum mengantarkannya pulang. Indri yang tersadar bahwa ini bukan
jalan menuju rumahnya protes.
"Woe Bang ojek, ini bukan
jalan ke rumahku,” protesnya.
"Aku mau nyulik kamu, bukan
nganterin pulang. Salah sendiri nggak mau bayar.” Nada bicara Eka terdengar serius.
"Nggak, nggak, nggak. Serius! Antarin aku
pulang atau turunin aku di sini!" ucap Indri setengah mengancam. Emang buat apa nyulik aku?
Gak salah sasaran, nih?" Nada suara Indri berubah. Sedikit parau.
"Emang kenapa?" tanya Eka.
Mendadak rasa waswas merambat di
jantungnya. Perasaan yang begitu aneh. Dihentikannya motor. Ketika ia menoleh
ke belakang, ia melihat Indri menyeringai. Gigi taringnya entah kenapa tampak
panjang dan tajam. Tangan Eka gemetar.
"Kok taring kamu kayak gitu, Ndri?"
tanyanya.
Bukannya menjawab, Indri malah
menyeringai makin lebar.
"Vam ... vampiiiir!"
teriak Eka. Ia meloncat dari motor dan lari terpontang-panting.
"Vampiiiiir!" serunya
lagi.
Indri melongo melihat Eka lari tunggang-langgang. Dia celingukan
sendirian. Kini apa yang harus dia lakukan? Motor Eka tergeletak di sisi
jalan. Tapi apa gunanya? Dirinya kan tak bisa naik motor.
Eka tertawa sendiri setelah pikiran
aneh tadi tiba-tiba muncul di kepalanya. Absurd. Ia membayangkan muka kesal Indri sudah diculiknya hingga mengerikan seperti Vampir.
Indri masih ngoceh saja, minta
penjelasan kenapa ia dibawa ke taman.
"Aku cuma pengen minum cendol di dekat taman.” Eka menjelaskan, sebelum gendang telinganya
benar-benar jebol mendengr ocehan Indri.
"Oh... mau nraktir? Kalau gitu oke
deh." Indri tersenyum.
"Siapa bilang mau nraktir? Kamu yang kudu nraktir aku.”
Indri melayangkan tinju ke helm Eka.
“Cowok tuh harusnya nraktir cewek, bukannya kebalik.”
“Katanya emansipasi, berarti gantian
dong.” Eka terkekeh. "Pilih mana, traktir es cendol
atau kamu beneran aku culik?" kata eka dengan nada mengancam yg dipaksakan.
Indri memilih diam.
***
Setelah minum cendol di taman, Eka
langsung mengantarkannya pulang. Jadinya tadi Indri yang bayarin. Dompet Eka
ketinggalan katanya. Alasan yang super duper klise. Indri tidak ikhlas sebenarnya. Dompetnya yang sudah
tipis jadi jebol.
Baru merebahkan tubuhnya di ranjang setelah mengantar Indri,
tiba-tiba HP Eka berbunyi. ternyata dari Nisa. Eka langsung mengangkatnya.
"Halo ada apa Nis?"
"Bagaimana kencannya?" Terdengar suara tawa-tawa kecil di seberang sana.
"Kencan?" Eka memastikan.
“Iya
kencan sama Indri. Pasti kalian romantis banget, kan? Ayo ngaku!" Nada suara Nisa terdengar centil. "Kapan kamu tembak dia?" tambah Nisa.
"Nggak tahu, mending kita
sahabatan aja, deh."
"Cinta kudu diutarakan, biar nggak
labil ekonomi, kata Vicky."
Nisa terkekeh. Kekehannya seperti Mak Lampir.
"Mulai deh, virus Vicky
menjangkit. Tapi, aku lagi kontroversi hati, Nis," keluh Eka.
"Kaya artis aja pake kontoversi segala. Emang tahu apaan
kontroversi itu?" tanya Nisa
“Ya aku bingung dengan perasaanku.
Indri nggak ngasih sinyal-sinyal gitu.”
“Tower di kepala Indri lagi dicabut, makanya nggak
ngeluarin sinya.”
Eka mematikan teleponnya. Hatinya
benar-benar bimbang. Apakah yang dirasa benar-benar cinta, atau hanya rasa suka
biasa, atau malah ini rasa yang salah? Eka memejamkan matanya, berharap
keesokan hari ia menemukan jawabannya.
***
Suasana kelas riuh. Guru Bahasa Indonesia tidak
bisa hadir. Dikasih tugas, malah pada ngerumpi sana-sini. Sementara Eka
tengah mengobrol dengan tim basket kelas, Nisa menghampiri Indri yang sedang bengong kaya orang bego.
"Cie yang sudah kencan...." Nisa mencubit pipi Indri.
Indri tersadar. "Apaan sih, Nis. Kamu demam? Aku beliin bodreksin, ya."
"Kamu kira aku bayi, apa? Aku lagi bahas
kamu yang nggak peka gitu."
Indri mengerutkan kening. Apa sih maksudnya. Aku peka kok.
Pendengaranku peka, lidahku juga masi peka, batin Indri.
“Eka sudah nembak belum?”
"Ih, kamu tuh ngomong apaan, sih, Nis? Siapa yang
ditembak?" jawab Indri jengah. Kedua pipinya bersemu merah.
Tiba-tiba Nisa memanggil Eka yang
tengah asyik ngobrol. Eka yang langsung memandang ke arah sumber suara yang
berupa itu. Sedetik kemudian berjalan menemui Nisa dan Indri yang tiba-tiba
malu-malu tikus.
Alis Eka terangkat sebelah, memandang
Nisa dan Indri bergantian. Apa yang
sebenarnya terjadi, sih? batin Eka
tetap bergeming melihat keduanya.
"Sudah... katakan saja, Ka, cowok nggak sih?
atau mau aku pakaiin rok?"
Eka terdiam. Dadanya bergemuruh
Hening tercipta. Seolah ada nada piano dengan nada-nada rumit, romantis.
Tapi itu hanya bayangan Eka saja.
"Ndri...."
Indri memasang telinganya baik-baik. Ia
tak ingin telinganya salah dengar.
"Ngerasa?"
Indri menggeleng.
“Tunggu dulu aku belum selesai.” Eka menghela napas panjang. "Ngerasa nggak kalau aku
mencintai ..."
"Baja hitam?" potong Indri
bego.
Eka menepok jidatnya. "Duh, memang susah ya, ngomong sama cewek model kaya kamu."
"Ya udah, nggak usah ngomong aja," timpal Indri
lagi.
Eka hanya garuk-garuk kepala mencoba untuk
tidak terpancing emosinya.
"Kamu ngerasa nggak kalau aku
mencintai ..."
Tiba-tiba
saja semuanya jadi gelap. Yang terakhir didengar Eka hanyalah jeritan histeris Indri
memanggil namanya.
Ternyata bola basket sudah mampir
terlebih dahulu dikepala Eka sebelum dia sempat menyelesaikan kalimatnya. Bola basket tersebut dari teman-teman basket Eka yang
ditinggalkannya tadi. Bola nyasar untuk Eka.
***
Eka mendapati dirinya sudah terbaring
di ruang UKS, ada Indri dan Nisa, di sisi ranjangnya.
"Aku kenapa?" Eka bersuara dengan
linglung.
Indri meninju lengan Eka. "Dasar
pangeran aneh. kamu ketimpuk bola basket."
"Oh ya? terus bagaimana dengan
cintaku?" Eka bertanya langsung.
"Noh nyangkut di pohon."
Mata
Eka melebar mendengar jawaban Indri.
"Ndri aku serius dengan
perasaanku."
"Maaf, Ka, kamu dan Nisa
mungkin tak tahu, kalau aku sudah menunggu seseorang. Ya seseorang yang aku pun
belum tahu ia hadir atau tidak. Aku menunggu pria maya itu.”
“Maafka aku,” imbuh Eka.
-End-
Penulis : Maya Lestari Gf, Justang Spy
The'segye, Asri
Fara , Ernawati
Herman, Hayatika
Ukiyanus, Kinan
Thiee, Hanna
L. Fathya, Alfa Anisa, Mita Idhatul
Editor : Adam Yidhistira dan Reyhan M
Abdurrohman
Post a Comment