First Love | KCB | 18 September 2013
First Love
Oleh: KOBIMO
Editor:
Reyhan M Abdurrohman
Bagaimana
aku bisa melupakannya. Kita sekelas, setiap hari sudah pasti bertemu. Apalagi
dia cinta pertamaku.
Dia Andra,
cowok kutubuku yang sama sekali tidak terlihat cupu. Baru dua bulan lalu kita
memilih berpisah, karena kesibukan kita yang membelit, hingga waktu untuk kita
bersama, berkurang.
Andra masuk
ke ruang kelas, karena bel istirahat akan berbunyi. Aku tahu, dia pasti dari
perpustakaan. Lihat dua buku tebal yang dibawanya. Dia memang tidak pernah ke
kantin kalau istirahat. Memilih berdiam diri di perpustakaan. Mungkin uang
sakunya sudah menggunung karena tidak pernah dibuat jajan.
Melihat
wajah gantengnya, dadaku bergemuruh. Aku luluh. Ah, ini selalu terjadi, meski
kita sudah berpisah.
Aku teringat
waktu dia menembakku dengan sangat romantis. Kukira dia yang seorang kutu buku
tidak bisa romantis. Aku salah besar, dia sangat romantis. Bahkan aku sampai
larut dalam puisi yang dibacakannya untukku.
Waktu itu
senja datang. Dia mengajakku di tengah lapangan basket sekolah. Dia sungguh
berani. Dia berlutut membacakan puisi itu. Aku tak bisa menolaknya, karena aku
memang mencintainya. Cinta pertama.
“Bagaimana?”
tanyanya karena aku belum juga memberi jawaban.
Lidahku
kelu. Aku hanya bisa mengangguk.
Saat itu
pula dia memelukku yang pertama kali di depan puluhan pasang mata. Pelukannya
sangat erat dan membuat hatiku selalu hangat. Tapi hubungan kami tiba-tiba
berakhir setelah berjalan lima belas bulan. Aku memutuskan dia duluan karena
sudah muak dengan pikirannya yang hanya ke buku.
Selalu saja,
ketika kami bersama, Andra menceritakan isi buku yang tengah dibacanya. Lima
belas bulan selalu seperti itu. Tentu saja, itu membuatku muak. Pacarnya aku
atau buku itu, ha?!
"Maaf,
kita tidak bisa bersatu lagi," kataku pelan.
Dia diam
sejenak. "Baiklah, jika itu yang menjadi pilihanmu. Tapi, jika suatu saat
kamu ingin kembali denganku, aku masih membuka lebar pintu hatiku."
Aku
terperanjat. Semudah itu? kukira dia
akan mencegahku terlebih dahulu. Seperti penolakan, tidak terima dengan
pemutusan hubungan ini. Tunggu dulu, apa maksud dia berbicara seperti itu.
Bagiku, putus ya putus.
"Aku
akan setia mencintaimu, karena hanya kamu yang kucinta." Andra menyambung
kalimatnya.
Aku sudah tidak
peduli. Bagiku dia lebih mencintai bukunya daripada aku.
***
"Cari buku
apa?" Andra mengagetkanku.
Aku
gelagapan. "Novel terbaru."
"Oh,
novel terbaru ada di rak sebelah sana." Andra menunjuk ke rak paling
depan.
Sudah
seperti petugas perpustakaan saja. Dia hafal isi perpustakaan ini. Mungkin dia
juga tahu berapa tikus yang menghuni lotengnya.
Aku pun
menyisir ke rak buku yang ditunjuknya, mencari novel terbaru. Tiba-tiba sebuah
buku dengan ketebalan yang luar biasa tebal terjatuh di depanku. Aku terkaget.
Andra yang melihatku, langsung datang menghampiriku.
"Kamu nggak
apa-apa?" tanya Andra cemas.
Andra meraih
buku yang jatuh, meletakkan kembali ke rak. Aku hanya diam, memasang senyum
tipis yang kupaksakan.
Aku
merasakan itu lagi. Jantungku berpacu cepat. Peluhku menetes dari kening. Aku
kegerahan. Aku berusaha membendung rasa ini, berusaha tetap normal, biasa saja.
Aku langsung
bangkit, berjalan agak tergesa menuju ke pintu keluar.
"Loh,
mau ke mana? Nggak jadi nyari novelnya, La?" tanya Andra heran.
Semakin kupercepat
langkahku. Suara Andra tak kuhiraukan. Aku terlu takut rasa itu datang lagi.
Jujur, masih ada Andra di hatiku, tapi aku nggak mau mengulang kebersamaan itu.
Toh aku sudah tahu akhirnya seperti apa. Buktinya dia masih mencintai buku,
hingga sekarang.
Aku
menghembus nafas lega saat memasuki kantin. Aku bergegas menuju kursi paling
pojok tempat sahabatku, Rita, yang sedang menikmati bakso kesukaannya. Aku tetap
merahasiakan rasa ini.
***
Aku menatap
bintang yang sekali mengerling padaku. Mendadak sebuah bintang jatuh menyusur
ke bumi. Aku berdoa dalam hati dan tiba-tiba handphone-ku bergetar. Ada yang menelepon dan dia adalah Andra.
"Halo."
Aku berkata duluan. Tapi tak ada suara di ujung sana.
"Halo."
Kuulangi lagi.
Tut... tut... tut...
Panggilan
terputus.
"Apa-apaan
sih, nih anak." Aku mengumpat sebal.
Ponselku
berdering lagi. "Halo." kataku sebal.
"La ...
Sibuk nggak?" tanyanya berbasa-basi.
Beuh, pertanyaan klasik, aku
membatin.
"Ada
apa sih?" jawabku sewot. "Sudahlah ngomong aja, ada perlu apa, kalau nggak
aku matiin,"cerocosku
"Tadi
pagi kenapa terburu-buru keluar dari perpustakaan?"
Deg.
"Anu
... anu. Ah, lupain aja. Ada apa sih tadi teleponnya dimatiin?" tanyaku
balik.
Tak ada
jawaban di seberang sana.
"Halo,
masih ada orang nggak?" Aku mulai sebal.
"Eh,
i-iya, La. La besok aku mau ngomong sesuatu." Suara Andra terdengar pelan.
"Sekarang
napa?"
Tut... tut... tut...
"Aishhh
dimatiin lagi telponnya? Sebenarnya dia itu mau ngomong apa sih?" Aku melempar
handphone-ku ke kasur.
"Dasar
cowok aneh." Aku menggerutu kesal.
***
Tak seperti
biasanya, pagi ini kulihat Andra sudah berdiri di depan pintu kelas. Sambil
terus berjalan, aku berusaha mengatur nafasku yang mulai terasa sesak. Semakin
dekat, sosok Andra kian membuat dadaku berguncang.
"Pagi,
La," sapanya sambil tersenyum.
Kemudian dia
berjalan menuju ruang perpustakaan, sebelum aku megucapkan apa pun padanya.
Cuek. Aku lanjut berjalan menyusuri koridor sekolah pagi ini, dengan
cukup resah. Seseorang yang meneleponku semalam, ternyata membuatku masih
memikirnya. Kenapa cuma begitu aja tadi.
Seorang
teman tiba-tiba menepuk pundakku "La, Andra nitip salam. Katanya pagi ini
kamu terlihat cantik."
Sontak wajahku
sedikit memerah, aku tak berani melirik Andra di belakang. Jantungku berdegup
sangat kencang.
"Oh,
iya La, hampir lupa, Andra akan menunggumu di perpustakaan."
Degub
jantungku semakin kencang. Aku bingung, apa ia aku harus samperin Andra.
“Aku cabut
dulu, ya.” Temanku itu langsung pergi.
"Duh,
gimana donk," gumamku sendirian.
"Datang
... tidak ... datang ... tidak, ahh aku pusing!”
Aku balik
badan, berjalan menuju perpustakaan. Apa pun yang akan dia katakan, aku harus
tetap biasa saja.
Perlahan aku
memasuki Perpustakaan. Seolah ada sesuatu yang menuntunku. Sambil menunduk, aku
menuju bangku di mana Andra duduk, dengan tumpukan buku tebalnya.
Kudekati
Andra tanpa berkata sedikitpun, aku hanya menunggu apa yang akan dikatakan
Andra.
Andra
menatap wajahku lekat. "Kau datang?" ujarnya.
Aku hanya mengangguk
pelan dan masih menunggu apa yang akan dikatakannya lagi.
Tiba-tiba Andra
menyodorkan sebuah buku yang barusan dibacanya. Buku itu masih terbuka, Andra
menyuruhku membaca baris yang ditunjuknya, tanpa kata.
Aku mencintaimu, kemarin, hari ini, dan selamanya.
Jantungku
terasa berhenti, dan itu cukup membuatku gugup. Sekali lagi, Andra mengutarakan
perasaannya dan itu membuatku kesal. Aku takut jika kami bersama, akan terjadi
masalah seperti yang dulu. Aku terlalu takut menghadapinya lagi.
Aku mencoba
mengontrol diriku. Aku ingin memakinya, tapi tak bisa. Aku tak ingin ada
keributan di sini. Keributan dalam hatiku. Kuputuskan meninggalkan Andra yang
masih menunggu jawabanku.
Tapi tangan
Andra terlalu cepat dibanding langkahku, Andra menarik lenganku. "Tunggu
dengarkan penjelasanku."
Aku menarik
nafas panjang, kucoba mengembalikan nafasku yang masih memburu. "Cukup, Ndra.
Aku lelah, aku tak ingin kita ribut."
Andra
menatapku tajam, mata sendunya menggelitik hatiku. Sebenarnya aku masih
mencintainya, tapi ada satu hal yang masih membekas dihatiku, Andra terlalu
sibuk dengan buku-bukunya.
"Benarkah,
kamu yakin?" tanya Andra.
Tangannya
makin erat memegang lenganku.
"Aku
takut, Ndra," jawabku.
"Tataplah
mataku, Aku ingin melihatnya sendiri, apakah memang sudah tidak ada
apa-apa."
Aku
menunduk, tidak punya cukup keberanian membalas tatapan Andra.
Aku
mengintip sedikit ke matanya. Tatapan Andra semakin tajam, lalu Andra menarik
tanganku dan mengajakku mengelilingi setiap blok-blok perpustakaan. Aku pasrah
saja.
"Disini."
Andra menunjukkan suatu tempat di sisi blok buku kesusastraan.
"Maksudmu?"
tanyaku tak mengerti.
"Disini
aku menemukanmu, inspirasiku dan karyaku. Aku mencoba menjadikanmu suatu karya
yang indah di novel terbaruku, dan semua itu tentangmu."
Aku terdiam,
mulutku bungkam mendengar kata-katanya. Aku seperti terbius, tubuhku kaku tapi
jantungku terus berdetak.
Aku mencoba
mencerna perkataan Andra. Benarkah semua yang dikatakannya? Andra menarik lenganku,
dan kali ini keluar dari perpustakaan. Dengan berpasang-pasang mata yang
memperhatikan kami, aku hanya menunduk tak berani menatap tatapan mereka.
Andra
mengajakku kembali ke kelas, Andra mengarah ketempat duduknya dan dia
mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah novel, cover yang indah seperti
wajahku tapi dalam bentuk animasi dan berjudul First Love, karya Andra.
"Untukmu,
bacalah semua yang tertulis di buku itu. Setelah itu terserah kamu, aku akan
tetap menunggu jawabanmu untuk berkata ‘iya’."
Aku tertegun,
seakan tak memercayai apa yang selama ini dilakukan Andra. Andra berada di dunianya
bersamaku dalam sebuah goresan tangannya dan aku mengacuhknnya tanpa mau
mendengarkan penjelasannya.
“Nih." Andra
membuka telapak tanganku dan meletakkan novel itu.
Sesaat ia
menghela napas pelan, lalu jari-jemarinya yang besar menggenggam hangat
tanganku. Ada desiran aneh yang menjalari sekujur tubuhku.
"Novel
ini harus kamu baca. Semua yang kukatakan tadi bisa kubuktikan di sini,"
ucap Andra pelan, sambil menunjuk novel yang berada ditanganku.
Andra
meninggalkanku, yang masih berdiri diam di depan tempat duduknya. Membiarkanku
mencari tahu tentangnya.
Bel jam
istirahat berakhir.
Aku kembali
ke tempat dudukku dengan membawa novel pemberian Andra.
Aku
penasaran dengan isi novel yang ditulis Andra. Aku putuskan untuk membaca novel
tersebut di rumah, sepulang sekolah nanti.
***
Tanpa
memikirkan perut yang lapar dan seragam yang masih menempel di tubuh.
Kurebahkan tubuhku di atas tempat tidur, kubenamkan diriku dalam setiap
lembaran novel itu. Hatiku berdebar-debar karena di setiap lembar-lembar itu
terungkap siapa Andra dan bagaimana Andra sesungguhnya.
Aku
begitu larut membaca kata demi kata puitika yang ditorehkan andra. Dia begitu
piawai membuaiku dengan kisah cinta pertama yang dilukiskannya.
Andra
seorang cowok kutubuku yang mempesonaku. Goresan-goresan tangannya terukir
indah di karyanya. Dia mencintaiku dan menjadikanku karya sejatinya. Andraku
benar-benar mencintaiku. Aku tak sabar menanti esok dan ingin kukatakan betapa
aku merindukannya, aku ingin bersamanya dan terus menjadi inspirasinya
Penulis: Mita
Idhatul, Justang Spy The'segye, Koko Ferdie Sbastyan, Ernawati Herman, Yhati
Melody, Ratih Apriani, Keyzia Chan, Apri Dwii Jayanti, Millati Izzatillah,
Nida'ul Jannah Karisma Putri, Reyhan M Abdurrohman.
Sumber gambar: http://endibiaro.blogdetik.com/files/2011/01/i-love-book.jpg
Top banget deh buat kak reyhan..
ReplyDelete