Header Ads

Kisah Kisruh si Ben | Juara 3 Kuis KCB 4 Desember 2013

Kisah Kisruh si Ben
Oleh: Ika Desy Kurniawati


Ben menemukan sebuah kayu berukuran panjang 30 cm dan diameter 1 cm. Ia menemukan tongkat itu di dalam sebuah hutan. Beberapa hari sebelumnya, mimpi tentang tongkat yang dibawa seorang bidadari itu, mucul tiap hari di tiga malamnya.
Ben mengaitkan mimpinya dengan sebuah doa yang selalu ia panjatkan sebelum tidur. Ia meminta pada Tuhan, agar diberikan seorang istri yang mau menemaninya seumur hidup tanpa mengeluhkan kekurangannya.
***
Ben memang seorang sarjana, namun mungkin karena wajahnya yang khas prasejarah sekali, alias abstrak dan langka, maka pola pikirnya juga ikut tidak logis. Ia masih saja mempercayai sebuah pertanda yang disampaikan lewat mimpi. Mimpi ya mimpi, bunga tidur yang seringkali menjadi tuangan emosi dan pemikiran yang menjadi beban. Sarjana yang tengah sibuk sekali mencari pekerjaan itu, tak hentinya mengidamkan seorang pendamping hati. Pelengkap jiwa. Tempatnya bisa membagi rasa dan derita, hingga bahagia sekalipun.
“Ben! Oben!!”
Ben yang tengah sibuk mengamati potongan kayu yang ditemukannya tadi, Ben dikejutkan oleh teriakan sang Emak tercinta.
“Iya, Mami...” balas Ben dengan level teriakan setingkat lebih rendah, untuk menghormati sang Emak atas usahanya menarik urat di pagi buta yang hening.
Namun, nyatanya wanita paruh baya itu segera menhampiri sang anak semata wayang. Ia berkacak pinggang di belakang tubuh Ben yang masih saja cuek bebek selonjoran di lantai teras yang adem. Sang emak menghela nafas berat, memandang anaknya yang kian hari makin buluk saja penampilannya. Mau dibilang anak kesayangan, tapi kelakuannya sering banget bikin jantungan. Namun biar bagaimanapun, si Ben itulah satu-satunya warisan peninggalan sang suami yang amat dicintainya.
“Mami, Mami! Tinggal di kampung aja pake sok panggil Mami. Lagian ngapain pagi-pagi ngejogrok di depan rumah? Nimba aer sono, Emak mau masak!”
Ben menoleh dengan sepenuh tenaga, demi memandang takjub pada bibir sang Emak yang merepet dalam kecepatan seratus dua puluh kilometer per jam, membuat Ben semakin suntuk serta gundah gulana. Memang, ia belum sempat menimba air yang selalu dilakukan sebagai pekerjaan tetapnya di rumah. Gara-gara mimpi itu, seolah ada yang menuntunnya untuk pergi ke hutan dan menemukan potongan kayu yang sekarang tergenggam erat di jemarinya. Dan untuk beberapa saat, dia tak lagi memikirkan hal lain, selain hanya kayu dan bidadari yang membawanya.
“Ben sedang galau, Mak. Tadi pagi Ben menemukan kayu ini di hutan, dihantarkan oleh seorang bidadari yang amat rupawan. Sepertinya, Ben jatuh cinta padanya, Mak.”
“Aduuh Oben... tiap hari lu ngomongin mimpi, mimpi melulu. Melek Ben, melek. Lu idup di dunia nyata. Nggak ada bidadari! Mendingan lu mikirin masa depan lu. Apa nggak bosen lu dua tahun jadi sarjana tapi masih aja nganggur? Gue tau emang wajah lu jelek, tapi bukan berarti nasib lu juga ikutan jelek, dong.”
Ben memandang sang emak dengan bimbang, “Hidup ini penuh liku-liku, Mak. Ben sudah melakukan segala upaya serta usaha untuk bisa mendapatkan pekerjaan. Namun apa daya, Mak, sudah berpuluh-puluh fotokopi ijazah Ben sebar, tapi belum juga membuahkan hasil.” Wajah Ben lesu seketika.
Sang Emak yang sedari tadi membelalakkan matanya lebar-lebar, kini mulai mencibir. Melihat reaksi serta ekspresi Ben yang begitu memelas dan tak berdaya, ditunjang dengan hidung bulatnya yang kembang kempis dengan semena-mena, membuat sang Emak iba juga.
“Ya udah. Memang belum rejeki lu kalau begitu. Tapi bukan berarti lu berhenti berusaha, dong. Emak aja nggak pernah bosen doain lu siang malem. Jangan kebanyakan mengkhayal doang, lu.”
“Wahai Emak, terima kasih banyak atas doanya. Tapi, mimpi itu telah datang padaku sebanyak tiga kali. Dan Ben merasa, sebentar lagi Ben akan bertemu dengan gadis impian Ben selama ini. Ben yakin, ia akan membuka jalan kesuksesan untuk Ben. Bukankah di balik pria yang sukses, selalu ada wanita kuat di belakangnya?”
“Lah, Emak lu ini kan juga wanita yang kuat.”
Ben mengernyit memandang sang emak, “Maaf, Ben ralat. Bukankah, dibalik pria yang sukses, selalu ada wanita MUDA kuat di belakangnya?”
   Kali ini sang Emak nekat menoyor kepala sang anak dengan kekuatan penuh, “Mana ada cewek yang mau sama lu, Oben, kalau lu nggak kerja begini. Mana tampang lu pas-pasan banget, pas deh foto lu kalau di pasang di bawah kolong dipan buat nakutin rayap.”
   Ben, dengan keyakinan penuh, lantas menyentuh kedua pundak sang Emak dengan mantap, seraya memandang mata wanita pahlawan pribadinya itu dengan berbinar-binar, “Ben yakin Mak, ini bukan mimpi biasa. Mak tau, Bude Stephanie Mayer, dia membuat novel fenomenal Twilight karena mimpinya ketemu vampir, Mak. Dan kayu ini, Ben yakin, akan membawa kita pada sebuah realita lain yang tak pernah bisa kita bayangkan sebelumnya.Ben berkata mantap.
Ben kemudian melepaskan bahu sang Emak dan mengangkat kayu dalam pegangannya. Ia memandang temuan berharganya di hutan itu dengan amat sayang dan takjub, membuat sang Emak yang semula hanya menganga mendengar ucapan sang anak, kini turut memberikan perhatian penuh pada kayu dekil yang dipegang Ben erat-erat. Namun satu yang masih mengganjal di pikiran sang emak, “Ben? Emangnya lu punya Bude yang namanya puyer? Kok kayak nama obat, ya?”
***
Bulan demi bulan berselang, meninggalkan jejak asa yang perlahan mulai terputus. Nyatanya, benderang di dunia mimpi selalu hanya bersembunyi dalam gelap saat mata terpejam. Tak mampu menyaingi kelam panggung realita yang dipenuhi lampu sorot. Benda yang lama ditemukan Ben di dalam hutan kini hanya tergeletak tak berdaya di sudut kamarnya yang tak selebar jidatnya.
Mungkin yang dikatakan Emak memang benar. Ini dunia nyata, jangan dicampuradukkan dengan hanya sebatas bunga tidur. Ben, yang telah mengganti rutinitas mencari pekerjaannya dengan nongkrong sambil bengong di hutan sebelah kampungnya, namun tak ada tanda-tanda mimpinya akan menjadi nyata. Mungkin memang tak ada wanita yang akan meliriknya, terutama saat status pengangguran masih saja menampel pada diri Ben. Hingga akhirnya, ia memutuskan untuk melakukan sebuah perubahan.
“Mak, Ben pamit dulu,” ujar Ben pada sang Emak dengan setelan kemeja rapi serta rambut kelimis dan map yang berlapis-lapis. Ben pun siap untuk berjuang mencari pekerjaan.
“Hati-hati, ya, Ben, nyari kerja yang bener.”
“Baiklah, Mak, assalamualaikum.
Waalaikumsalam.”
Ben membawa potongan kayu kesayangannya bersamanya, berniat membuangnya di pinggir jalan. Sudah terlalu lama pikirannya disabotase oleh benda tak jelas itu, kini saatnya bagi Ben untuk move on. Dan dengan gaya serius sembari memandang sang kayu dengan seksama, Ben melemparkan potongan kayu itu ke sembarang arah, hingga benda itu mendarat mulus di kepala seseorang. Saat sadar akan perbuatannya, Ben segera tanggap dan meminta maaf kepada korban pelemparannya.
“Aduh, maaf ya, Bu, saya betul-betul nggak sengaja,” ujar Ben kepada seorang  wanita tua yang tengah berdiri kebingungan di depan sebuah mobil sedan hitam.
Gimana, sih. Jangan buang sampah semarangan dong!sentak wanita tua yang nampaknya sudah berusia lebih dari setengah abad. Ia mengangsurkan potongan kayu di tangannya pada Ben yang melongo dengan konsentrasi penuh.
Ben seketika merasakan de javu. Angannya kembali melayang mengingat mimpi tak biasanya tentang seorang bidadari yang mengangsurkan kayu dengan ukuran panjang 30 cm dan diameter 1 cm, yang ia yakini adalah perwujudan jodohnya kelak, persis seperti cara wanita tua mengangsurkan sang kayu pada Ben. Namun, bila dalam mimpi itu sang bidadari jelas sekali terlihat masih begitu muda dan luar biasa cantik, kenyataan yang terpampang justru sebaliknya. Hati Ben mencelos. Apa yang akan dikatakan emaknya nanti bila tau calon menantunya memiliki tingkat usia yang bahkan jauh di atas sang mertua??
Selagi Ben mengambil kembali kayu miliknya, seseorang lain nampak keluar dari mobil dan berjalan mendekatinya. Kali ini, adalah seorang wanita muda dengan dress berwarna gelap. Lagi-lagi Ben dibuat melongo untuk kesekian kalinya. Gadis itu betul-betul cantik, sukses membuat hati Ben berdesir.
   “Emm, Nenek masuk aja, yuk.Sang gadis lantas membawa neneknya untuk memasuki mobil, dan kemudian kembali menemui, Ben, “Gimana sih, Mas. Untung Nenek saya nggak apa-apa.”
“Maaf-maaf, Mbak. Tidak sengaja.”
“Yaudah sebagai gantinya, Mas kudu benerin mobil ini.” Cewek itu tersenyum sinis.
Ben segera mengangguk bego. “I-i-ya, Mbak.”
“Mobil saya mogok. Saya bingung, nggak ngerti mesin sama sekali.”
Ben langsung beraksi. Beberapa saat kemudian, Ben berhasil mengatasi sedan si gadis cantik yang ngadat di waktu dan tempat yang sangat tepat, “Cuma kendur kabelnya, kok. Udah beres sekarang,” katanya dengan senyum yang dibuat semanis mungkin, meskipun sebetulnya lebih mirip orang yang sedang keselek cicak.
“Makasih banget ya, Mas. Saya Winda.”
“Saya Oben, panggil saja Ben. Kebetulan memang banyak yang bilang wajah saya mirip ben serep.”
Winda tertawa. Sedang Ben merasa begitu lega, setidaknya, jodohnya bukan seorang nenek-nenek. Ia hanya berharap semoga Winda bidadari itu. Ah, ia mimpi di siang bolong.
Winda lantas bertanya-tanya tentang map yang dibawa Ben, saat itulah rejeki nomplok kembali nemplok kepada Ben.
Kamu sarjana teknik mesin? Kebetulan banget, perusahaan ayahku sedang membutuhkan Mechanical Electrical Engineer. Kalau kamu berminat, aku bisa rekomendasikan kamu.”
“Serius Win?”
Winda mengangguk mantap, “Nilai-nilai kamu bagus. Pasti kamu bakal diterima, deh.”
                                                               ***
Sejak saat itu, nasib Ben berbalik seratus delapan puluh derajat, karena ia akhirnya berhasil mendapatkan sebuah pekerjaan di perusahaan ternama milik orangtua gadis impiannya, Winda.
Cinta datang karena mereka sering bersama. Entah Winda sedang buta, atau tidak waras. Tapi jodoh memang Tuhan yang mengatur. Itu semua adalah rahasia-Nya.
Emaknya pun luar biasa bangga pada Ben, dan dengan senang hati memecat Ben dari pekerjaan tetapnya di rumah; menimba air di sumur.
Hingga enam tahun berselang, banyak prestasi yang ditorehkan Ben untuk perusahaan ayah Winda, hingga gadis itu pada akhirnya luluh dan bersedia menerima lamaran Ben, tanpa peduli status sosialnya, tanpa peduli akan wajah abstraknya, hingga Ben bingung sendiri, bagaimana sebenarnya cara cinta bekerja?
   “Ben!! Oben!! Buruan, dong..!Teriakan sang Emak kembali terdengar. Ben pun segera keluar dari sarangnya. Ia tampak rapi dengan setelan jasnya, siap berangkat untuk melamar sang calon pendamping.
“Wahai Emak, Ben sudah siap.”
Ya Allah, anak Emak, meskipun nggak cakep tapi lumayan keren pake baju beginian, wangi lagi.Sang Emak lantas mengecup ubun-ubun Ben.

“Ini semua berkat doa Emak yang tak putus untuk Ben. Ben bisa dapat kerja, serta calon istri yang mau menerima segala kekurangan Ben. Maafkan Ben yang selama ini selalu merepotkan Emak. Ben mohon restu.” Ben mencium tangan sang Emak, yang tersenyum haru melihat kesuksesan sang anak tunggal sekarang.

*Cerpen ini menjadi pemenang ke tiga, kuis KCB pada 4 Desember 2013.

2 comments:

  1. mkasih mas reyhan udah diposting :)

    bolehkah dshare di blog pribadi??

    ReplyDelete
    Replies
    1. Boleh silakan. Sertakan link sumber ya :)

      Delete

KOBIMO@2012. Powered by Blogger.