Badai Hati | Juara 2 Kuis KCB 4 Desember 2013
Badai Hati
Oleh: Ulfia Hamidah
Tatkala kau hadir, kau tiada
kuendah. Tatkala kuhadap padamu, kini kau pergi.
Catatan perasaan Bento
tersemat kata sendu. Pedih itu masih bersemayam setia, memintal sesal tiada terkira. Kalau pun ia mampu
mengembalikan waktu yang telah berlalu, pun mampu mengganti takdir berpaku, ia akan
melakukannya sekarang juga. Agar adanya pun tanpanya tiada menyiratkan luka di
jiwa. Namun percuma, semua ini tak mampu lagi berubah. Tak akan pernah.
***
Ben menemukan sebuah kayu ukuran panjang 30 cm
dan diameter 1 cm. Ia menemukan tongkat
itu di sebuah hutan .
Beberapa
hari sebelumnya, mimpi tentang tongkat yang dibawa seorang bidadari itu, muncul
tiap hari di tiga malamnya.
Ben mengaitkan mimpinya dengan
sebuah do’a yang selalu ia panjatkan sebelum tidur. Ia meminta pada Tuhan
agar ia diberikan seorang istri yang mau menemaninya seumur hidup tanpa
mengeluhkan kekurangannya.
Ben
berdiam diri, meremah pikir. Mengendapkan tanya pada batinnya apakah ini
pertanda akan ada wanita yang menjadi jawaban atas doa-doa panjang yang telah ia
sampaikan
sejak lama. Maka bermekarlah bunga senyum mengindahkan paras wajah yang
dibanjiri peluh keringat kecutnya.
“Bento,
tak bisakah kau cepatkan sedikit gerakmu?! Telah lama kita di sini. Aku akan pulang!”
Sentakan mendadak membuat Bento
terkaget-kaget. Menjadikan jantungnya seakan lari di tempat.
“Sebentar,” ucap
Bento sambil tangannya mengelus dada. Penuh kesal hatinya menanggapi perempuan titisan si kucing ini.
Kalau saja ia titisan kucing anggora tak mengapa. Masalahnya, kemungkinan dia
titisan kucing dari hutan belantara. Parah!
Ratih
berjalan mendekati Bento. Memandangi Bento yang terlihat pucat tanpa berkedip.
Wajahnya mendekat ke arah wajah Bento. Membuat Bento terkesiap.
Ini
baru pertama kalinya ia beradu pandang dengan orang bernamakan perempuan dalam
jarak yang begitu dekat, kecuali ibunya. Tiba-tiba saja hatinya berdesir -desir.
Jantung yang tadinya lari di tempat pun bagaikan berhenti sejenak. Bento serasa
mati tak mampu menahan gejolak rasa yang asing di dirinya. Lalu ia pejamkan
matanya menanti apa yang akan terjadi.
“Bento…
Bento… rambutmu
sudah bersih. Tadi ada tanahnya. Ayo kita cepat-cepat pulang. Kurasa kayu
bakarmu sudah cukup banyak”
Bento
membuka mata. Kecewa. Tentu saja. Meski rasa ini memang datangnya
tiba-tiba. Apa yang bergelayut di alam bawah sadarnya tadi tak sesuai nyata.
Ada gelora di hatinya. Berkecamuk. Mongobrak-abrik perasaan dan pikiran. Menariknya tenggelam makin
dalam di dasar samudra pada hantaman badai pertama. Badai hati.
***
Kejadian hampir tiga tahun yang
lalu masih membekaskan jejak di kehidupan Bento hingga sekarang. Kejadian saat
Bento mencari kayu bakar bersama Ratih, tetangganya. Sebenarnya biasa saja.
Mencari kayu bakar bersama di hutan sudah menjadi rutinitas harian mereka, orang desa
yang hanya mengenal tungku untuk memasak. Namun entah mengapa, semenjak
ia
menemukan tongkat kayu waktu itu, hati Bento selalu bergolak setiap melihat Ratih
bahkan hanya sekedar memikirkannya gelora itu masih ada. Lagi-lagi badai hati! Atau
mungkin tongkat itu memang penghubung cinta? Entahlah.
Bayang wajah Ratih memutari
pikiran Bento.
Menghadirkan buncahan rasa yang selama ini bersemedi. Kejang
mimpi
segera beristri. Apalagi Ratih selalu baik dan perhatian kepada Bento. Semakin
membuat Bento merasa Ratih pun jatuh hati kepadanya. Bagaimana Bento tak yakin
bahwa Ratihlah jodohnya?
Di lain perasaan, Sekar,
sahabat kecil Bento, hanya mampu diam mendengar igauan Bento setiap hari.
Antara suka dan luka berkawan samaran lara di hati. Kicauan Bento bagai sang
titisan burung beo selalu menyenandungkan badai hati yang selalu bergolak tiada
henti. Satu nama kebanggaan yang tak kan pernah tertinggal dari ocehannya.
Ratih Sukma Ningrum.
Sebenarnya ada rana hati yang
mendekapi Sekar tiap kali Bento menyebutkan nama Ratih di depannya. Walau Ratih
sudah dua tahun ini pergi meninggalkan Magetan untuk bekerja. Tetap saja ocehannya bak pisau
menyayatkan luka yang menganga sedalam dasar samudra. Karena sesungguhnya,
pohon cinta Sekar teruntuk Bento telah tumbuh sejak mereka masih kecil. Ia mengakar
kuat. Begitu kuatnya hingga sekalipun pohon itu harus tumbang, akan tetap menyisakan
bekas lubang yang dalam di hati Sekar.
***
Bento mengidap erotomania.
Ia Memiliki gangguan delusi/khayalan, di mana seseorang meyakini bahwa ia
dicintai oleh orang lain meski kenyataannya tidak sama sekali. Keyakinannya
akan mimpi yang berhubungan dengan doa-doanya, ditambah lagi
ia menyimpan tongkat yang ia temukan sekitar tiga tahun lalu makin memperparah
keadaannya. Bahkan ia terlihat seolah agak gila. Sekar tahu keadaan ini dan
yang diyakini mencintainya. Siapa lagi kalau bukan Ratih Sukma Ningrum? Namun
cinta Sekar tetap ada dan utuh untuknya, Bento, si sahabat kecil. Tiada karat
pun cacat. Semua terangkum rapi di deretan rasa hatinya.
***
Tahun keempat semenjak Bento
tergila-gila akan pesona Ratih, Menyisakan lara tak berobati. Baginya pun Sekar. Bahkan kayu yang ia anggap sebagai tongkat
bidadari pun tak mampu menyembuhkan. Ia hanya diam dan merekam. Hadirnya
adalah saksi kepiluan yang tak hilang.
Ratih, sang pujaannya kini
kembali pulang. Hadirnya adalah senyum kebahagian. Namun, aneh. Ia tak pernah
tahu keadaan Bento. Tak jua menanyakan. Benar-benar keterlaluan, pikir
Sekar.
Sekar sadar akan
keberadaannya di hati Bento. Ia sadar. Bagi Bento, ia bukan bunga-bunga
pikirannya. Namun cintanya itu dalam diam. Bahkan ia tetap sayang apa pun yang
terjadi. Baginya, bahagia Bento lebih penting. Asal Bento bahagia, ia pun
bahagia. Dan ia akan berusaha untuk itu. Ia tak ingin orang yang dicintainya
dalam diam tersakiti.
Namun, kini semua itu hanya
kisah yang telah terlewati. Kisah di atas tumpukan
kayu bakar yang menjadi saksi. Bahkan segalanya telah pergi seiring kepergian
Bento yang tak pernah di ketahui. Hinga
kini. Benar-benar takkan pernah ada
lagi.
Terakhir ia datang tanpa
membawa impi beristri. Bahkan ia ternyata mati bunuh diri, ditinggal Ratih bersuami.
Semarang,
8 Desember 2013
*cerpen ini menjadi pemenang ke dua pada kuis KCB (Kobimo), 4 Desember 2013
Post a Comment