Header Ads

Bab 1: Tidak Sepatutnya Kau Datang ke Mari!



Saya ingin menjelaskan terlebih dahulu, kalau penggalan Bab 1 ini sebelumnya sudah pernah dibengkeli di Kelas Bengkel Novel edisi Kamis, 13 Oktober 2016. Banyak komentar pujian dan kritik mengalir untuk draft Bab 1 ini. Ketinggalan kelasnya? Bisa lihat di sini ya. Bagi yang ingin berkomentar memberikan pendapatnya bisa langsung menuju kolom komentar yang ada di paling bawah postingan ya. Jangan di kelasnya, biar nanti tidak mengganggu aktivitas kelas lain yang sedang berlangsung.

Oke, langsung saja. Selamat membaca, dan ditunggu komentarnya. :D
===============================


Gambar Nangroe Aceh
Gambar Hanya Pemanis
Setelah menghabiskan waktu hampir lima jam dengan menumpang labi-labi  dari Blang Bintang, saya tiba di Teupin Sampan yang tampak sepi kendatipun matahari sudah lebih dari sepenggalah. Banta, sang sopir menurunkan saya di pertigaan dan enggan mengantar hingga ke tujuan akhir. Bujukan dan janji sungguh-sungguh bahwa saya akan memberikan ongkos tambahan di luar harga kesepakatan, sama sekali tidak mampu meluluhkan keteguhan pendirian pemuda berkulit legam itu. Khawatir tidak bisa pulang lantaran gagal menemukan penjual bensin di daerah pedalaman sana, katanya memberi alasan agak hiperbola.

Ya, memang cukup masuk akal. Saya mahfum dengan ketakutannya. Kami adalah pendatang, sama-sama tidak mengenal tempat asing dan pertama kali akan kami kunjungi itu. Bisa saja dugaan Banta benar, dia tidak akan menemukan penjual bensin eceran apalagi galon pertamina. Maka, setelah bertukar nomer telepon–barangkali suatu hari kami akan saling membutuhkan–saya melepas pemuda menjelang 23 tahun itu meneruskan perjalanan ke Meulaboh untuk menemui calon isterinya yang bermukin di sana sejak dua tahun terakhir.

Dengan duffel bag yang tersandang di bahu kanan, saya melangkah ringan dan agak tergesa ke arah utara melalui jalan utama menuju Gampong Suak Nipah yang tampak seperti tidak pernah mengalami perbaikan. Kendatipun beraspal tebal, akan tetapi di banyak bagian dihiasi ceruk-ceruk berbagai ukuran yang digenangi air keruh dan berlumpur menyerupai kubangan-kubangan tempat kerbau berendam. Barangkali pembenahan acap kali dilakukan, namun truk-truk proyek pengangkut getah karet atau kelapa sawit terlalu kerap melindasi. Saya menduga ini adalah penyebab utamanya. Hal serupa, kerap terjadi di beberapa lokasi di wilayah Aceh semasa saya duduk di bangku sekolah dasar.

Jika boleh menerka, Gampong Suak Nipah dan gampong-gampong di sekitarnya adalah area perkebunan kelapa sawit atau perkebunan karet yang dikelola oleh perusahaan-perusahaan asing yang mempekerjakan penduduk sekitar dengan upah ala kadar. Lantas, akibat kerusakan jalan yang terlalu parah dan berkepanjangan ini, dapat dipastikan penduduk setempat enggan melaluinya lagi. Berkendaraan pribadi justru hanya akan membuat sengsara. Kecuali terpaksa, pada hari-hari biasa mereka lebih memilih jalan alternatif yang tersedia. Entahlah, ini hanya taksiran semata dan belum tentu bisa dibuktikan kebenarannya.

Satu hal yang pasti, sejak perjalanan dari pertigaan Teupin Sampan, belum satu kali pun saya berpapasan dengan manusia. Kali ini saya tak terlalu yakin jika kesenyapan ini berhubungan langsung dengan kerusakan jalan. Berharap ada sepeda, kereta atau mobil yang searah dan bisa saya tumpangi sehingga tidak terlalu lama menghabiskan waktu di jalan yang sedikit menyeramkan ini, adalah isapan jempol belaka. Tidak banyak yang bisa saya temui mengalahkan rumpun-rumpun pisang monyet di kedua sisi jalan yang melambai-lambai lesu tertiup angin kering yang menyapa kadang-kadang. Pohon-pohon kelapa berbuah jarang di beberapa tegalan penduduk yang sepertinya sengaja dibiarkan kosong oleh para pemiliknya, seakan menyembunyikan keceriaan. Nyanyian alam nyaris tak harmoni di sini, begitu timpang dan terkesan gersang.  Ah, sebegitu matikah tempat ini setelah dilanda bah lautan mahadasyat sembilan tahun yang lalu? Konon, Tanah Rencong–termasuk beberapa daerah di Aceh Barat ini–sudah lama bangkit dan nyaris pulih dari kesengsaraan bagai kutukan itu.        

Sekitar dua puluh menit kemudian, setelah melewati jembatan kayu dengan aliran air yang nyaris kering, saya tiba di sebuah pertigaan. Di sini suasana begitu meriuh. Sekian detik setelahnya saya baru menyadari, penyebabnya adalah suara kelelawar yang jumlahnya bisa diterka mencapai puluhan ribu. Ini adalah pemandangan yang sangat menakjubkan. Kelelawar-kelelawar berwarna legam itu menyesaki tiga pohon raksasa gundul dan kering di sebelah timur, menyerupai pohon-pohon misteri yang hanya ada di negeri dongeng.

Sementara di sebelah barat, di hadapan saya, membentang jalan beraspal kasar selebar sekitar dua depa orang dewasa. Pada kedua sisi jalan lempang tersebut terhampar rumput hijau, dihiasi pohon-pohon kelapa yang menjulang dan tumbuh tidak beraturan. Ini jauh berbeda dengan sepanjang jalan yang saya lalui. Amat jauh dengan terkaan saya. Bahkan aroma alam yang terhirup menciptakan suasana tenang. Laiknya sebuah taman yang mendapat sentuhan tangan-tangan penuh kepedulian, hamparan rumput itu begitu rapi dengan ukuran yang seragam. Saya membayangkan, amatlah nyaman jika bisa menyelonjorkan kedua kaki di sana, menghirup aroma angin pantai lalu menikmati segarnya air kelapa muda yang masih perawan. Akan tetapi bayangan itu segera tertepis manakala mata saya menangkap bayangan sosok manusia, terlebih mengingat perjalanan ini belumlah menemukan sebuah awalan. Seorang pemuda bergaris wajah India yang tengah duduk pada pangkal pohon kelapa dan sedang mengawasi empat ekor lembu dewasa di sekitar situ, menunjukkan arah ke sebuah rumah yang saya tanyakan.

Rumah bercat hijau agak lusuh itu setengah batu setengah tembok. Dua jendela nako berwarna gelap mengapit pintu kayu berwarna daun di tengah bangunan. Di sekelilingnya terdapat pagar bilah bambu, hampir tertutup oleh rambatan tumbuhan menjalar berbunga ungu sejenis katang-katang yang biasanya banyak tumbuh liar di pesisir pantai. Halamannya yang luas terlihat kotor oleh guguran daun-daun kering berasal dari pohon jambu air dan pohon manggis yang tumbuh di pekarangan depan. Saya menghela napas panjang dan menata debaran-debaran yang tiba-tiba saja berpilin-pilin memenuhi rongga dada beberapa saat sebelum meneguhkan hati untuk mengetuk pintu persis di depan mata.

Degup itu masih meraja manakala perempuan lampai berkulit langsat membuka pintu selepas saya mengucapkan salam. Tidak seperti perempuan-perempuan lokal yang saya temui di Banda Aceh dan sekitarnya, perempuan itu tidak menutupi kepalanya dengan kerudung atau sejenisnya. Mungkin dia tak sempat mengenakannya karena terburu-buru membukakan pintu atau lantaran hal lain. Pakaian atasnya pun berkesan ala kadar, hanya kaus berlengan pendek tanpa kerah bergambar wajah presiden RI ke-5 dan warnanya tidak lagi cemerlang. Sementara untuk menutupi tubuh bagian bawah, dia mengenakan sarung yang dililit seadanya, tidak rapi dan terkesan asal-asalan. Saya bukan termasuk orang yang terbiasa menilai penampilan seseorang hanya dari pandangan pertama, akan tetapi saya menduga, perempuan berwajah murni tanpa riasan ini adalah termasuk perempuan kampung yang sederhana dan polos. Tampaknya, dia tidak terlalu mempersoalkan penampilan fisik dan pakaian sebagaimana laiknya perempuan-perempuan modern yang cenderung mementingkan penampilan dalam keseharian.

Dia terlihat sedikit gugup begitu mendapati saya berdiri kaku di depan pintu. Tangan kanannya seolah enggan melepaskan daun pintu dari cengkraman. Sementara tangan kirinya yang dihiasi dua gelang rantai kecil berwarna emas, berulangkali membetulkan sarung kotak-kotak merah yang dikenakannya dan tersingkap-singkap ditiup angin lalu. Saya berusaha tersenyum dan mengangguk sesantun yang saya bisa. Lama dia tidak memberikan reaksi, justru pandangannya berulang menyapu setiap sisi tubuh saya. Ah, mungkin dugaan saya sama sekali tidak benar bahwa dia perempuan sederhana apa lagi polos. Jika tidak, bagaimana mungkin dia berani menumpukan pandangannya begitu lama pada tamu asing yang baru sekali dia temui. Kendatipun kegugupannya semakin kentara manakala tatapan kami bertumbukkan, perempuan itu tidak lantas bergegas mengalihkan pandangan atau setidaknya berusaha melunakkan tatapan yang terasa menusuk. Sungguh sialan perempuan berwajah lembut itu. Entah perempuan dari kelas mana dia, sehingga berani begitu rupa melahap habis seorang lelaki muda dengan pandangannya yang terlalu mendakwa. Baiklah, saya mengalah saja. Demi menghindari kesan tidak sopan dan hal-hal buruk lainnya, saya hanya memasang senyum dan tergugu-gugu layaknya sapi renta dan mulai dungu.

“Maaf, benarkah ini rumah Ibu Saidah?” tanya saya akhirnya dengan suara yang sengaja dipelankan. “Saya mencari Ibu Saidah, istri Keuchik  Bustaman.”

“Betul sekali,” jawabnya segera, terkesan tak ramah dan ogah-ogahan. Matanya tak berhenti menguliti wajah saya seolah tengah mencari sebentuk keaslian pada setiap lekuknya. Sementara tangan kirinya sibuk menyeka anak rambut yang jatuh berderai-derai di pipi. “Ya, aku adalah istri Keuchik Bustaman. Hmm … dulu dia seorang keuchik. Siapakah Anda?”

Sedikit canggung saya menyodorkan tangan setelah mengempaskan tas pakaian di sebelah kaki. Sesungguhnya saya tidak pernah mengira perempuan bernama Saidah itu ternyata masih sangat muda, segar sekaligus ligat. Bahkan rasanya sungguh tidak laik perempuan seumurnya–saya menaksir usianya sekitar 30–harus dipanggil dengan sebutan ‘ibu’ jika saja dia bukan istri seorang keuchik.

Perempuan itu mengulang pertanyaannya, “Anda siapa?”

“Saya, Jaya Sancawikrama.” Dengan nada suara yang sengaja saya buat sesantun mungin, lantas saya menegaskan, “Saya datang dari Jawa khusus untuk bertemu Ibu Saidah. Ada perihal penting yang harus saya sampaikan sesegera mungkin. Semoga Ibu Saidah bersedia menyediakan waktu untuk bicara.”

Entah karena tidak melihat atau sengaja sedang mempermainkan perasaan saya yang acak-acakan dan dapat dia baca dengan telak, perempuan bermata cerlang itu mengabaikan uluran tangan saya. “Datang ke Suak Nipah dan ingin bertemu istri Keuchik Bustaman hmm … benarkah Anda datang dari Jawa?” tanyanya penuh penekanan dan rasa curiga. Kembali tangan kirinya membenahi anak rambut di pipi dan menyelipkannya di sela daun telinga.

Merasa diabaikan, saya kembali menarik tangan. Rasanya, wajah ini semerah tomat matang. Namun, saya mencoba bersikap wajar lalu berujar, “Benar sekali, Bu. Dari Jawa Barat tepatnya. Apakah Ibu akan menyilakan saya masuk?”

“Wajah Anda memang tidak sedikit pun menunjukkan ciri-ciri wajah warga Aceh,” tuturnya yakin, seolah orang Jawa atau orang Aceh bisa dibedakan hanya dengan tampilan fisik belaka. “Tetapi logat dan gaya bicara Anda kadang-kadang terdengar seperti penduduk lokal sini.  Awalnya aku berpikir Anda adalah seorang transmigran Jawa.”

Perempuan ini terlalu banyak berbasa-basi dengan pertanyaan-pertanyaan basi yang sama sekali tidak berkaitan apalagi penting, maki saya dalam hati. Bukankah akan lebih baik dan bijak jika dia bersedia mempersilakan saya masuk terlebih dahulu ke rumahnya dan lantas menanyakan apa pun yang dia kehendaki?

“Kedua orangtua saya adalah transmigran, Bu,” tegas saya berterus terang–bahkan berusaha membuatnya tersenyum dengan melemparkan sedikit guyonan. “Saya adalah pujakesuma, alias putra Jawa kelahiran Sumatra ….”

Entah Saidah yang tak mengerti humor atau justru guyonan saya yang teramat hambar sehingga perempuan itu sama sekali tak mengubah sikapnya.

“Apakah aku mengenal Anda?” tanyanya lagi sepersekian detik kemudian dengan nada penuh selidik. “Anda pernah datang ke rumah kami sebelumnya?”

“Tidak, Bu. Ini adalah kedatangan saya yang pertama.” Saya berusaha membenahi rasa kaku yang menjerat dan rasa kesal yang mendadak menyelinap di ruang hati. “Saya tidak yakin kalian mengenal saya. Tetapi sesungguhnya saya cukup tahu siapa Ibu Saidah dan Keuchik Bustaman. Belakangan ini saya sering mendengar nama kalian disebut-sebut.”

“Disebut-sebut oleh siapa?”

Saya merangsek, sedikit tidak sabar ingin melepaskan penat dan mengempaskan tubuh pada kursi atau apa pun yang bisa membuat tubuh menjadi nyaman. Lantas saya berucap setengah memohon, “Maaf, bukan saya bermaksud tidak sopan atau kurang ajar, tetapi bolehkah saya masuk dan duduk terlebih dahulu? Bisakah kita bicara di dalam saja?”

Saidah tetap mematung di ambang pintu dengan wajah yang menghadirkan berbagai ekspresi. Sepertinya dia terlalu sibuk menimbang atau barangkali tengah menakar kejujuran saya. Kendatipun rasa kesal menyergap, namun saya bisa memahami tabiatnya. Walau bagaimanapun sikap waspada terhadap apa pun yang belum jelas kebenarannya adalah tindakan yang benar. Siapa pun paham apa yang kerap terjadi di zaman yang serba canggih ini; kejahatan bisa terjadi di mana dan kapan pun selagi ada kesempatan. Bahkan yang terjadi sekarang, pelaku kejahatan sudah lebih pintar dengan melakukan berbagai cara untuk mengelabui para korban, salah satunya lewat sikap dan tutur kata yang menggambarkan perilaku yang baik, terdidik dan alim. Tidak jarang pula pada beberapa kejadian, jatuhnya korban hanya lantaran salah menilai pelaku. Ya, waspada adalah wajib hukumnya bagi siapa pun sejauh tidak menjadikan kita paranoid yang berlebihan.

Kemudian, setelah kami sama-sama terdiam dalam waktu yang cukup lama, saya memiliki kesempatan untuk menjelaskan bahwa kedatangan saya ke Suak Nipah adalah untuk menjalankan sebuah misi penting. Kang Karta, kakak saya satu-satunya yang sedang terbaring sakit sejak lama dan sepertinya tengah menghadapi sakratul maut, menugaskan saya untuk menemui Ibu Saidah, istri seorang keuchik di Suak Nipah. Menurut keterangan Teh Nor, kakak ipar beberapa waktu lalu, mereka adalah sahabat karib manakala Kang Karta dan dirinya bermukin di Ulee Paya, tanah transmigran yang berjarak sekitar 53 kilometer dari Gampong Suak Nipah. Tidak ada pesan istimewa yang dititipkan Kang Karta selain satu kata yang hingga saat ini belum saya temukan makna sesungguhnya. Kata itulah yang kemudian saya simpulkan adalah sebagai kunci rahasia yang selama ini tersimpan dengan apik.

“Jadi, Anda adalah adik kandung Karta Tawikrana? Hmm … benarkah?” tanyanya seperti baru tersadar dari mimpi. “Di wajah kalian sama sekali tidak ada kemiripan.” 

“Benar sekali, Bu. Kang Karta abang saya. Kami hanya dua bersaudara,” sahut saya serasa terbebas dari kungkungan ketidaknyamanan. Hati saya bersorak girang, lantas bersiap melangkah dan mengangkat kembali tas pakaian yang nyaris terlupakan demi melihat reaksi bibir perempuan bernama Saidah yang setengah ranum itu bergerak-gerak seperti akan mengucapkan kalimat ‘ayok masuk’ sesegera mungkin. Namun ….

 “Tidak! Tidak sepatutnya kau datang ke mari!” Suara perempuan berbibir tipis itu mendadak naik beberapa oktaf dengan ritme yang teramat cepat. Kata ‘anda’ pun seketika berubah menjadi ‘kau’ dengan penekanan yang amat kentara pada setiap kata yang meluncur dari bibirnya. Keringat menitik di wajahnya yang kini sedikit memerah, sepertinya akibat menahan amarah. “Jangan lagi kalian mencoba menghancurkan keluargaku, hidupku! Cukup suamiku saja yang merasakan derita berkepanjangan hanya demi membela sahabat karib.”

Betapapun kuatnya otak saya menerka-nerka arah pembicaraan perempuan berambut ikal itu, tetap saja tidak ada titik terang dan saya gagal memahaminya. Kenyataan ini sangat jauh di luar dugaan. Terlebih jika mengingat apa yang diceritakan Kang Karta tentang perempuan ini, saya merasa sedang menghadapi orang yang tidak tepat. Bisa jadi pemuda di pangkal jalan itu salah menunjukkan rumah yang saya maksud dan bukan ini Saidah yang saya cari. Dia perempuan baik dan berhati mulia, begitu penuturan Kang Karta. Bagaimana saya harus menjelaskan kepadanya bahwa perempuan ini nyatanya tidak seperti itu?

Lekas saya mengeluarkan telepon genggam dari saku jeans, bermaksud menanyakan kepada Teh Nor apakah saya telah menemui orang yang salah. Sialnya, mesin canggih itu justru tidak bisa menjadi sahabat pada saat dibutuhkan. Di mana pula semboyan perusaan kartu seluler ternama yang katanya nyambung terus? Dasar kecoa, sama sekali tidak berguna!

Saya memberanikan diri bertanya, “Siapa yang sedang Ibu bicarakan?”

“Kalian!” tegasnya sedikit mengangkat dagu. “Kau pikir siapa lagi?!” 

“Maaf, saya tidak paham apa yang sedang Ibu bicarakan ….”

“Kau tidak perlu lagi berpura-pura dungu!” potongnya tajam. Dadanya terlihat jelas naik-turun dengan gerakan tidak beraturan. “Apakah kau tidak pernah berpikir bahwa kalian sudah terlalu banyak memberikan penderitaan kepada keluarga kami?! Kupikir semua ini sudah terlupakan dan akan baik-baik saja, tetapi kenyataannya kalian masih ada. Kalian memang orang-orang yang tidak akan pernah menyerah! Aku paham mengapa banyak orang menjuluki kalian … para transmigran sebagai penjajah. Aku rasa itu pantas untuk kalian!”

Beberapa saat saya hanya bisa menarik napas dalam-dalam, tidak tahu harus bagaimana bersikap. Perempuan yang bahkan belum sepuluh menit saya temui ini mendadak menjelma macan liar yang terusik dari peristirahatannya. Penilaian saya semakin beralasan bahwa dia bukanlah perempuan baik-baik yang bisa memperlakukan tamu atau orang asing dengan adab yang laik. Mengapa dia tidak bisa sedikit saja memberikan kesempatan untuk menjelaskan siapa saya dan apa sesungguhnya maksud kedatangan ke rumahnya, ketimbang harus mencaci terlebih berteriak-teriak tidak tentu ujung pangkalnya? Ah, mengapa pula banyak perempuan yang saya temui selalu bersikap seperti itu akhir-akhir ini? 

“Saya tidak sedang berpura-pura, Bu. Saya bingung, sungguh.”

“Kelakuan kalian terlalu kejam, selain merampas kekayaan juga merampas nyawa dan kebahagiaan!” cerca Saidah lagi dan bersiap menutup pintu. “Aku sarankan, engkau jangan kembali menyulut api perang yang sudah mulai padam. Sekarang segeralah pergi dari sini, sebelum anakku tahu kedatanganmu. Dia akan murka jika tahu orang yang ikut berperan membunuh ayahnya ada di sini, di rumahnya. Pergilah sebelum aku berubah pikiran!”  

“Tetapi saya sungguh tidak paham semua ini, maaf.”

“Itu lebih baik!” sergahnya setengah berteriak. Matanya yang saya akui memancarkan daya pikat, sesaat membeliak. “Pergi! Lupakan tentang misi pentingmu itu. Anggap saja kita tidak pernah bertemu. Mulai detik ini, lupakan juga tentang intan itu! Ék leumo  semua!”

“Intan? Jadi … Ibu Saidah tahu tentang makna di balik kata itu?” Ada banyak rasa yang berdentam-dentam seumpama bedug yang ditabuh tanpa irama, menyeruak memenuhi dada. “Entah bagaimana saya mengatakannya, tetapi saya senang ternyata perjalanan ini akan segera menemukan titik akhir. Terima kasih, akhirnya Ibu Saidah ….”

Brak!

Pintu di depan saya menutup dengan gerakan kilat, meninggalkan suara gedebum yang menggetarkan dada. Lalu … mendadak saja kesunyian begitu terasa menggerogoti sekitar dan ruang hati, mengporak-porandakan seluruh harap terkikis hingga tandas.

Hampa menyergap.
===============================


POINT DISKUSI : 

1. EYD

2. Tema

3. Setting

4. Alur

5. Karakter

6. Gaya penulisan

7. Genre

Untuk yang ingin draft novel bab 1-nya dibengkeli, bisa kirim draft-nya ke email berikut: bn.kobimo@gmail.com

1 comment:

  1. Today, I went to the beach with my children. I found a sea shell and gave it to my 4 year old daughter and said "You can hear the ocean if you put this to your ear." She put the shell to her ear and screamed. There was a hermit crab inside and it pinched her ear. She never wants to go back! LoL I know this is totally off topic but I had to tell someone! gmail login

    ReplyDelete

KOBIMO@2012. Powered by Blogger.