Header Ads

Tongkat Kayu, Bintang, dan Jembatan Pelangi | Juara 1 Kuis KCB 4 Desember 2013

Tongkat Kayu, Bintang, dan Jembatan Pelangi

Oleh: Gema Darmawan S.

Ben menemukan sebuah kayu ukuran panjang 30 cm dan diameter 1 cm. Ia menemukan tongkat itu di dalam sebuah hutan. Beberapa hari sebelumnya, mimpi tentang tongkat yang dibawa seorang bidadari itu, mucul tiap hari di tiga malamnya.
Ben mengaitkan mimpinya dengan sebuah doa yang selalu ia panjatkan sebelum tidur. Ia meminta pada Tuhan, agar diberikan seorang istri yang mau menemaninya seumur hidup tanpa mengeluhkan kekurangannya.
***
Kisah tentang bidadari, penghuni kayangan. Ahh, manusia memang sering menceritakan tentangku. Hmm, tapi kali ini aku yang ingin bercerita tentang kalian, tak apa kan? Ini kisah nyataku, kisah yang menjadikan kalian luar biasa di negeri Kayangan, saat aku bertemu dengan makhluk sejenis kalian yang kuanggap spesial, Ben.
Oh ya, lupa, namaku Sabrina, pemilik tongkat kayu yang ditemukan Ben itu. Sebenarnya tongkat itu sudah tidak berfungsi normal lagi, semua itu karena aku telah memberikan bintang di ujung tongkatku kepada seorang gadis kecil. Gadis kecil yang akan menuntunku pada Ben.
Baiklah, akan aku mulai ceritanya.
Saat itu aku melihatnya sedang menangis, duduk di bawah pohon (entahlah, aku tak tahu namanya) sendirian sambil memegang tongkat bidadari mainan. Kugunakan sihirku agar aku bisa terlihat manusia.
“Hei.” Aku menyapanya sambil tersenyum, sayapku merekah.
“Mama?” Dia membalas sapaanku, dia memelukku!
Semua di luar perkiraanku. Aku sebenarnya hanya ingin menghiburnya dengan memperlihatkan sedikit sihirku. Tapi, semua itu berubah saat dia memelukku dan memanggilku mama. Aku tak suka.
“Mama sekarang ada di sini? Mama … Zha takut.” Tangisnya semakin nyaring, pelukannya semakin erat. Aku mulai terbawa suasana.
“Sayang takut kenapa? Tenanglah, tak ada yang akan mengganggu Zha lagi.” Bodohnya aku, aku justru mengucapkan kalimat yang malah semakin meyakinkannya bahwa aku adalah mamanya.
“Maaf, aku bukan orang yang kamu bilang mama itu, manusia tidak mungkin menjadi bidadari.” Hanya tersendat di kerongkongan, aku tak sanggup mengatakan itu di hadapannya. Tak ada yang bisa kulakukan saat itu, aku tak sanggup mengambil kebahagiaan yang saat itu mengalir deras lewat air matanya.
“Mama… Zha takut, ayah marah lagi, ayah mau matahin tongkat ini.” Aku melihat matanya, terlihat jelas. Kebahagiannya bercampur dengan rasa takut.
Aku bisa apa? Walau aku bisa mengubah sebuah batu menjadi roti isi, namun seorang bidadari tidak mungkin bisa mengubah sebuah perasaan dengan sihirnya. Sihirku tak berguna sama sekali, aku waktu itu sama saja seperti kalian. Cuma sayap berwarna biru laut ini yang menandakan bahwa aku seorang bidadari.
***
Sayapku kurapatkan lagi, aku duduk sambil memangku Zha. Tangisnya mulai berhenti.
“Zha… Ayah tadi kenapa?” Aku bertanya.
“Mama… jangan tinggalin Zha lagi,” ucap Zha, tak menghiraukan pertanyaanku.
“Iya sayang, mama gak akan ninggalin Zha lagi.” Lagi! Kalimat bodoh itu terucap kembali.
Waktu itu entah apa yang ada dipikiranku, aku seolah menikmati peranku menjadi seorang yang dipanggil “mama” oleh Zha. Tapi, saat aku menyatakannya lewat perkataan, hatiku justru menolaknya mentah-mentah. Aku bidadari, dan dia manusia. Kami tak mungkin bersatu. Kisah Jaka Tarub yang kalian dengar itu omong kosong belaka!
Jujur, aku tak ingin membuat kecewa siapapun.
“Pulang yuk, ayah pasti gak marah lagi, Zha kan bawa mama, lagian udah senja nih, Ma.” Zha mengajakku pulang, kali ini dia tersenyum. Aku diam. Fatal.
Oh iya, lupa lagi, sebelumnya aku belum menceritakan bagaimana aku bisa sampai di negeri bawah. Ya, seperti yang dikatakan orangtua kalian (hmm, mungkin mamanya Zha juga bercerita hal yang sama) bahwa bidadari turun dan naik ke kayangan menggunakan pelangi, itu tepat sekali.
Senja itu, pelangi sudah menghilang, bisa kalian tebak. Aku terjebak di tempat ini.
“Zha, tutup matamu, pikirkan letak rumahmu, kita akan pulang.” Aku menggunakan sihir teleportasiku, sudah lama tak aku gunakan, aku lebih suka terbang.
Swinngg… dan posisi kami tak berubah sama sekali.
Aku baru ingat. Bahwa semua sihirku tak bisa digunakan tanpa ada energi dari kayangan. Pelangi lah yang menjadi perantara energi kayangan, tanpa pelangi tak ada sihir yang bisa digunakan di negeri bawah. Ya, kisah Cinderella itu juga omong kosong.
***
            Aku berjalan bersama Zha, melintasi persawahan, dengan siluet pegunungan di pinggirnya. Bagiku yang tak biasa berjalan kaki, perjalanan ini terasa jauh. Zha dari tadi menarik tanganku, menuntun arah kakiku, kadang berlari, dan aku juga terpaksa ikut berlari kecil. Zha nampak bahagia sekali. Tapi aku, perasaanku masih tak karuan waktu itu.
            Rumah megah, walau hanya terbuat dari kayu, nampak jelas di hadapanku. Zha membawaku masuk ke rumahnya.
            “Ayah… mama datang…!!!” Zha berteriak.
            Seorang lelaki di atas kursi roda itu datang menghampiri Zha. Itulah pertama kali aku melihat Ben. Cukup muda untuk seorang ayah.
            “Zha, sudahlah… mama tidak akan datang, mama kan sudah jadi bidadari, maafkan ayah tadi.” Ben membelai wajah Zha.
            Aku heran, kenapa dia mengatakan bahwa isterinya telah menjadi bidadari? Itu tidak mungkin, sekali lagi kutegaskan, manusia tak mungkin bisa menjadi bidadari. Aku yakin pasti ada alasan lain.
            “Ayah, lihat, ini mama,” Zha meraih tanganku, dan menuntun tanganku sampai menyentuh wajah Ben. “Bisa ayah rasakan? Ini mama.”
            “Zha! Cukup, ayah mohon hentikan khayalanmu!” Ben menatap dalam mata Zha, kemudian pergi ke kamar.
            Zha menatapku, matanya terlihat ingin menangis lagi. Aku memeluknya.
            “Kenapa ayah tak bisa melihat mama?” kata Zha.
            Lumayan rumit menjelaskan semuanya kepada Zha. Aku bingung merangkai kalimat sederhananya agar dia bisa mengerti. Sihir ini hanya berfungsi pada orang yang aku kehendaki, tapi tak ada lagi energi untuk mengaktifkan sihir ini lagi ke Ben. Jadi, hanya Zha yang bisa melihatku, aku pun tak tahu sampai berapa lama sihir ini bertahan.
***
            Okelah, aku singkat ceritanya. Zha akhirnya mengerti mengapa hanya dia yang bisa melihatku, dan sekarang dia sudah tidur, aku yang me-nina bobo-kan dia, itu adalah pengalaman pertamaku menyanyikan sebuah lagu kayangan untuk seorang anak manusia.
Malam semakin larut, dan langit kembali mendung. Aku duduk di dahan pohon.
            “Sabrina, santai saja, di sini musim hujan, kami tahu, kami bisa membaca langit,” ucap semut pohon kepadaku.
            “Iya, aku tahu, tapi tak setiap hujan diakhiri dengan pelangi kan?” jawabku.
            “Hehe, akan kami beritahu kapan hujan berpelangi akan tiba, kan sudah kubilang, kami ini bisa membaca langit,” Semut itu mencoba menghiburku. “Sudahlah, jangan murung begitu Sabrina, bermainlah bersama Zha, kamu kan bisa memasuki mimpi manusia tanpa sihir?”
            Kata-kata yang diucapkan semut pohon itu membuatku tersenyum, akhirnya aku tahu apa yang harus aku lakukan. Bukan, pikiranku bukan memasuki mimpi Zha, melainkan ayahnya, Ben. Aku penasaran, mengapa ia berkata bahwa isterinya berubah menjadi bidadari?
            “Semut sahabatku, terima kasih banyak.”
***
            “Sabrina, jangan tinggalkan aku, iya aku cacat, tapi ini bukan kehendakku, Sabrina, itu semua bukan kehendakku.” Kalimat ini yang kudengar saat pertama kali aku memasuki mimpi Ben.
Sabrina. Mengapa namanya harus sama denganku? Waktu itu, aku benar-benar kacau. Kalau bisa sihirku berfungsi, aku sudah dari tadi menggunakan sihir penghilang ingatan untuk melupakan semuanya. Aku sudah terlalu jauh masuk dalam kehidupan manusia.
            Ben adalah manusia yang memiliki mimpi terdetail yang pernah aku masuki. Bahkan aku sekarang berada di tengah hutan, entahlah, rindang sekali di situ. Burung-burung berkicau harmoni. Mimpi ini benar-benar luar biasa, tapi sayang di saat itu juga hatiku sakit. Mengapa tidak, Sabrina isterinya Ben itu jahat sekali (entah mengapa Zha terkesan begitu mencintainya), dan yang paling aku tidak suka adalah, Sabrina-nya Ben wajahnya hampir serupa denganku, dan juga berwujud bidadari.
            “Aku harus melakukan sesuatu,” gumamku.
            Aku pergi mencari Sabrina (jadi aneh menyebutkan namaku sendiri dalam cerita). Aku mencarinya ke arah hutan dia terbang tadi. Tak lupa aku membawa Ben, jika dia ditinggal sendiri tanpa lawan bicara, aku yakin mimpinya akan segera berganti.
            “Kamu siapa?” Ben bertanya kepadaku. Rupanya dia bisa membedakan antara aku dengan isterinya. Bukan seperti Zha, yang menganggapku adalah mamanya.
            “Ikut saja.” Aku membawanya terbang mencari isterinya.    
            Mimpi Ben sekali lagi aku katakana luar biasa. Tempat itu luas sekali, dengan detail pepohonan hutan yang sangat tajam. Di beberapa pohonnya pun terlihat sarang burung.
            Di perjalanan itu, Ben banyak bercerita tentang Sabrina. Sabrina adalah isterinya yang sudah meninggal, beberapa saat setelah Ia menceraikan Ben. Alasannya adalah karena Ben lumpuh akibat suatu penyakit.
            “Dia sudah lelah, katanya, tapi aku tahu dia masih mencintaiku.”
            Aku lagi-lagi terdiam. Ben sepertinya memiliki cinta yang begitu besar. Ahh, andai saja aku bisa mengubah perasaan dengan sihirku, dia salah mencintai Sabrina, tak mungkin seseorang pergi meninggalkan orang yang masih dicintainya. Satu-satunya cara adalah dengan memberikan Ben sihir penghilang ingatan. Tapi haruskah aku menghilangkan sebuah cinta?
            “Itu dia!” Ben menunjuk ke arah padang rumput hijau halus.
            Aku begitu kaget waktu itu, ternyata Sabrina bersama Zha. Mimpi Ben berhubungan dengan mimpi Zha! Aku baru sekali memasuki mimpi dua manusia dalam satu waktu.
            Kami mendarat di antara mereka. Zha nampak gembira sekali, bercanda, tertawa bersama Sabrina, sambil memainkan tongkat sihir Sabrina (mamanya). Sabrina yang ini sangat berbeda dengan Sabrina yang meninggalkan Ben tadi. Senyumnya begitu manis, berpadu pakaian bidadari yang lengkap dengan sayap hijau daunnya. Seandainya kalian tidak tahu bahwa dia manusia, kalian pasti akan menganggapnya bidadari.
            “Sabrina?” kata Ben.
            “Ben? Bagaimana kau bisa sampai ke sini?” Sabrina heran.
            “Tak perlu kau tahu, Sabrina, aku ingin selalu bersamamu.” Ben tiba-tiba memeluk Sabrina.
            “Ben, lupakan aku, hentikan, aku ingin bersama Zha! Sudah, lupakan semua, aku tidak mencintaimu lagi,” ucap Sabrina.
            “Kalau begitu aku akan tinggal di sini, bersamamu, dalam mimpi anak kita.”
            Tiba-tiba, langit cerah itu berubah menjadi mendung seketika. Entah dari arah mana datangnya awan hitam itu. Aku melihat Ben terpejam. Dari arah belakang kami, ku dengar suara gemuruh dari dalam tanah. Terbelah. Hutan rimba dan padang rumput itu mulai terpisah.
            Zha terdiam, wajah berserinya berubah menjadi wajah ketakutan.
            “Bodoh! Ben! Apa yang kau lakukan?”
Aku sangat panik. Seandainya koneksi ini terputus, aku juga akan terjebak di sini. Di mimpi manusia. Di dunia manusia. Berlapis.
Aku tak akan bisa keluar melalu dari mimpi ini melalui Zha. Aku berasal dari mimpinya Ben!
“Ben! Hentikan! Kau masih hidup, jika kamu lakukan ini, kamu tak akan bisa kembali lagi. Kau berbeda denganku, Ben.” Sabrina mendekat ke arah Ben yang masih terpejam. “Ben, maafkan aku, selama tiga hari ini aku berpakaian seperti bidadari, aku tahu dia akan datang. Aku ingin kamu benar-benar melupakanku. Iya, aku mencintaimu, tapi kita tak mungkin bersatu lagi.” Sabrina menangis.
Jujur, aku semakin bingung. Apakah maksud Sabrina menjodohkanku dengan Ben? Sebenarnya aku juga terkesan dengan ketulusan cinta Ben, pada isteri dan anaknya. Tapi bidadari dan manusia juga tak mungkin bersatu. Lagipula cinta tak bisa dipaksakan.
“Ben! Bangun! Jangan bodoh! Ingat Sabrina,” bentakku, namun Ben masih tetap tak terbangun. Jarak hutan dan padang rumput pun semakin jauh.
“Sabrina, lakukan sesuatu.” Entah Sabrina-nya Ben ini mengetahui namaku dari mana.
Tongkatku tak berfungsi. Aku terjebak dalam mimpi. Aku berpikir keras, hingga aku menemukan sebuah ide. Semoga ini berhasil.
“Sabrina, terus ucapkan sesuatu, bangunkan Ben,” ucapku.
“Zha, pegang ini.” Aku melepaskan bintang yang ada di tongkat sihirku.
Aku pergi menuju tanah yang terbelah itu. Kemudian melamparkarkan jauh tongkat kayu berukuran 30 cm itu ke belantara hutan, tempat mimpi Ben.
Sabrina terlihat menangis, mengatakan apapun agar Ben bisa terbangun.
“Zha! Buatlah pelangi! Genggam terus bintang itu!” ucapku sesaat setelah melemparkan tongkat kayu tak berbintang itu. “Semoga ini berhasil.”
Aku pernah belajar. Bahwa, bintang dan tongkat kayu bidadari itu energinya tak mungkin bisa terputus. Jadi kuharap, walau Ben berusaha memutuskan koneksi mimpinya, namun tongkat sihir milikku masih bisa mencegahnya. Dan semoga pelangi dalam mimpi ini bekerja mengalirkan energi dari kayangan di dunia nyata. Semoga.
Pelangi belum juga muncul. Aku lihat Zha berusaha untuk membuatnya. Ahh, aku baru sadar, langit mendung, awan hitam menggumpal, petir menyambar. Rupanya hubungan ayah dan anak ini membuat Ben juga bisa mengendalikan mimpi Zha.
“Aku harus melakukan sesuatu,” ucapku dalam hati. “Sabrina, teruskan, buat Ben segera terbangun, lakukan apapun, gunakan air matamu,” kataku pada Sabrina.
“Zha, pegang tanganku.” Zha mengangguk, sepertinya dia sudah mengerti bahwa aku bukan mamanya. Oke, satu masalah terselesaikan.
Selain bisa memasuki mimpi manusia, sebenarnya bidadari juga bisa mengendalikan mimpi seseorang. Tapi ini tidak diperbolehkan. Aku tak peduli, yang terpenting semua akan kembali seperti semula.
Tangan kiri Zha menggenggam erat tanganku, dan tangan kanannya menggenggam bintang yang aku berikan tadi.
Aku mengendalikan awan hitam itu, dan Zha segera membuat pelangi di langit. Jujur, sulit sekali membuat awan hitam itu menyingkir, Ben begitu kuat mengendalikan mimpinya.
“Ben, bangunlah sayang, aku mencintaimu.” Sabrina meneteskan air matanya. Ben perlahan menggerakkan kelopak matanya. Tapi koneksi yang semakin melemah, membuat Ben tidak mampu membuka mata. Ben juga meneteskan air mata.
Aku yakin, Ben yang berada di atas tempat tidur, juga sedang berusaha terbangun.
“Zha, sekarang! Ciptakan pelangi!” Akhirnya pelangi muncul di langit, di mimpi yang luar biasa itu.
Semoga berhasil, aku baru melakukan ini pertama kali. Tiba-tiba, bintang yang ada di genggaman Zha bersinar. Cahaya putih terang itu keluar. Zha terkejut, namun tetap memegangnya. Bagai kilat, cahaya itu menuju tongkat kayu yang aku lemparkan ke hutan tadi.
Jurang lebar yang memisahkan kedua mimpi itu, tak bergerak sedikit pun. “Kumohon bekerjalah,” ucapku dalam hati.
Krakk… ternyata sekejap terciptalah subuah jembatan, berwarna-warni, seperti pelangi yang ada dilangit itu, tapi jembatan pelangi ini jauh lebih indah. Dan ideku berhasil!
“Sabrina, aku mencintaimu.” Ben terbangun, dan langsung memeluk Sabrina. Sabrina menangis sekuatnya di pelukan Ben.
“Ben, maafkan aku, tapi kita tak mungkin bersatu, kamu harus bahagia, maafkan aku karena waktu itu aku meninggalkanmu, aku terpaksa,” ucap Sabrina.
“Yang terpenting, keyakinanku terbukti, kamu masih mencintaiku.”
Aku bidadari, dan aku menangis. Aku benar-benar terharu melihat mereka. Zha memeluk mereka berdua. Seandainya aku bisa mengubah semua ini menjadi kenyataan.
Pertanyaanku sudah terjawab, mengapa Ben mengatakan bahwa isterinya berubah menjadi bidadari. Tapi, pertanyaan kembali muncul dibenakku, mengapa selama tiga hari itu Sabrina menjadi wujud seorang bidadari? Entahlah, aku biarkan ini menjadi pertanyaan yang tak perlu dijawab. Aku tak mau mengganggu kebahigian mereka.
Memang, perlu sebuah kepercayaan kuat dalam cinta.
***
            Akhirnya pelangi datang, dan aku bisa pulang (semut pohon terlambat mengatakannya, aku tahu terlebih dahulu). Entah apa yang terjadi, saat aku keluar dari mimpi Ben, aku kehilangan tongkatku (dan aku juga belum mengerti sampai aku menceritakan cerita ini kepada kalian, mengapa tongkat kayunya justru berada di dunia nyata? entahlah). Tapi biarlah, di kayangan masih banyak tongkat bidadari. Tinggal mengatakan saja, bahwa tongkatku hilang di negeri bawah. Manusia tak bisa mengendalikan tongkat bidadari, jadi tak ada yang perlu dikhawatirkan.
            “Zha, sampai jumpa, biarkan ayah menganggap semua ini hanya mimpi.” Aku tersenyum membelai wajah Zha.
***
Ben menemukan sebuah kayu ukuran panjang 30 cm dan diameter 1 cm. Ia menemukan tongkat itu di dalam sebuah hutan. Beberapa hari sebelumnya, mimpi tentang tongkat yang dibawa seorang bidadari itu, mucul tiap hari di tiga malamnya.
Ben mengaitkan mimpinya dengan sebuah doa yang selalu ia panjatkan sebelum tidur. Ia meminta pada Tuhan, agar diberikan seorang istri yang mau menemaninya seumur hidup tanpa mengeluhkan kekurangannya.
“Itu tongkat kayu mama,” bisik Zha sambil mendorong kursi roda Ben.
Ben tersenyum.

Tamat
 *)sumber gambar : http://aryrocksecond.wapsite.me/Backrond/Ar_18.gif

1 comment:

KOBIMO@2012. Powered by Blogger.